Surabaya
BPP Jatim Sesalkan Jokowi Soal Pembebasan Baasyir, Pemerintah Belum Mampu Jelaskan Dasar Hukum
Memontum Surabaya—-Polemik tentang kebebasan mantan gembong teroris Abu Bakar Baasyir menuai pro kontra publik. Kali ini kritik tajam terlontar dari Badan Pemenang Provinsi (BPP) Prabowo-Sandi Jawa Timur (Jatim). Didik Darmadi dari Tim Pemenangan Bidang Kampanye BPP Prabowo-Sandi Jatim menganggap pemerintah era Jokowi Widodo (Jokowi) hanya mencari sensasi. Menurutnya, kalau niat untuk mengeluarkan berdasarkan alasan kemanusian kenapa tidak dari dulu.
Mengingat ustadz pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin Ngruki yang berada di Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah itu juga sering sakit-sakitan dan keluar masuk rumah sakit. Didik menduga, ini adalah bentuk strategi politik Jokowi menjelang coblosan pilpres. “Dulu alasan sakit dulu apa memang tidak sakit. Dulu juga sering keluar masuk rumah sakit,” ungkapnya, ketika dihubungi via telefon, Selasa (22/1/2019).
Ia mengimbau kepada Presiden Jokowi lebih baik beradu progam dan visi misi. Karena dirinya menganggap Indonesia butuh pemimpin yang benar-benar memperhatikan rakyat kecil dan bukan hanya sekedar pencitraan.
Didik menilai, mayoritas rakyat Indonesia masih sangat membutuhkan keringanan harga untuk kebutuhan hidupnya. Ia juga mengkritik kebijakan Jokowi tersebut, cenderung melayani yang atas dan mengabaikan yang bawah.
“Lebih baik adu program, Indonesia butuh pemimpin yang benar-benar memperhatikan rakyat kecil dan jangan melayani yang atas aja, terutama asing. Rakyat kita banyak yang susah. Harga mahal, listrik mahal dan lain-lain. Tolong stop pencitraan,” cetusnya.
Secara pribadi, Didik sangat setuju apabila Baasyir keluar dari dekaman sel tahanan, mengingat ustad tersebut sering sakit dan sudah berumur juga. Ia meyakini, selepas Baasyir keluar, mantan gembong teroris tersebut tidak akan berbuat macam-macam, apalagi membuat suatu gerakan radikal.
Sejauh pengamatannya, masih kata Didik, ia melihat banyak orang yang menganggap jika aliran yang diikuti Ustad Baasyir adalah aliran Islam radikal.
Tetapi secara pribadi, Didik belum melihat secara pasti, apakah Pondok Ngeruki yang didirikan Baasyir tersebut beraliran radikal.
Bahkan ia menyerukan, bahwa Islam tak mengajarkan kekerasan. Menurutnya Islam itu indah, dan apabila ada santri yang berbuat radikal itu bukan anggota yang di ajarkan Ponpes Ngeruki, tetapi itu adalah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Kalau saya pribadi sangat setuju beliau keluar karena memang beliau sering sakit dan udah berumur. Lagian beliau nggak mungkin mau macam-macam. Banyak orang menganggap aliran yang diikuti Ustazd Baasyir adalah radikal. Tetapi selama ini saya belum lihat bahwa Ponpes Ngeruki ajarkan radikal,” pungkas Didik
Sementara itu Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya Abdul Wachid menilai, pembebebasan Baasyir belum ada konteks dan dasar hukum yang kuat.
“Belum ada dasar hukum yang bisa dipakai, apakah memang Baasyir itu dilakukan amnesti, grasi ataupun pembebasan yang itu sebetulnya sesuai dengan prosedur dalam peraturan undang-undang di Indonesia,” urainya, Senin (22/1/2019).
Hal itu menjadi pertanyaan besar terhadap publik. Karena hingga saat ini, pemerintah masih belum mampu menjelaskan apa dasar hukum dalam pembebasan Abu Bakar Baasyir.
Wachid menambahkan, sehingga hal ini akan menimbulkan konsekuensi hukum untuk ke depannya, karena pemerintah dianggap tidak mempunyai dasar alasan yang cukup kuat untuk membebaskan narapidana khususnya napi teroris.
Jadi patut dipertanyakan pembebasan Baasyir ini. Apablia presiden melakukan grasi, maka seorang mantan narapidana harus mengakui kesalahannya dan meminta ampun kepada negara,” tukas Wachid.
Tetapi Wachid melihat, dari konstruksi hukum yang dikenakan kepada Abu Bakar Baasyir, terlihat bahwa memang dirinya tidak mengakui kesalahan sebagai tahanan teroris. “Dan memang ada salah syarat instruksi yaitu terkait dengan surat pernyataan bahwa dia setia kepada UUD 45 dan NKRI,” kata Wachid.
Wachid melanjutkan, sedari awal Baasyir tidak bersedia untuk menandatangani surat peryataan tersebut. Karena memang Baasyir sejak awal tidak mengakui kesalahannya.
“Ini yang kirannya harus dilihat kontruksi hukum bagaimana dasar pengenaan atau kebebasan bersayarat inj yang dilakukan oleh presiden,” katanya.
Ia menganalisia nantinya ini akan menjadi implikasi hukum ketika ke depan akan menimbulkan pertanyaan bagi publik, karena kebijakan Jokowi ini.
Bahkan secara prosedur apabila narapidana tersebut tidak memenuhi persyaratan. Harusnya memang dia tidak layak dibebaskan, karena memang harus dilihat bahwa ini bisa dibaca secara politis dan menjadi catatan buruk bagi pemerintah.
“Apabila pemerintah ngotot melakukan dan tetep untuk dibebaskan. Saya rasa ini yang menjadi perhatian kita semua,” tutupnya. (sur/ano/yan)