Kota Malang

Ini Biang Kemacetan Kota Malang dan Solusinya

Diterbitkan

-

Oong Ngadiono, Agus Mulyadi, M. Taufik, dan Nusa Sebayang, saat memaparkan biang kemacetan Kota Malang dan solusinya. (rhd)

Memontum Kota Malang—Kemacetan kota Malang menempatkannya di posisi ketiga nasional sebagai kota termacet. Problematika ini patut menjadi skala prioritas untuk segera diselesaikan, mengingat selesainya tol Malang-Pandaan (Mapan) diprediksi bakal menumpuk kemacetan di tengah kota. Beberapa kajian baik dari para akademisi dan praktisi dirangkum sebagai literasi atas langkah konkrit pemecahan masalah.

Kepala Bidang Lalu Lintas Dinas Perhubungan (Kabid Lalin Dishub) Kota Malang, Agus Mulyadi, mengatakan kemacetan terjadi karena jumlah kendaraan lebih bertumbuh, sementara jalan tetap. Terlebih saat liburan, aktivitas dari luar kota lebih banyak, terutama di jalan poros, jalan propinsi, dan jalan nasional. “Hanya kota Malang yang ada jalan nasional membelah kota, dan bukan di pinggiran kota. Dampaknya, saat jalan nasional macet, simpul-simpul lokal pun ikut macet karena terhambat di persimpangan. Solusinya, tukar guling jalan lokal dengan nasional dan propinsi. Terutama yang terkait akses tol dan underpass,” ungkap Agus Mulyadi, dalam Diskusikan Publik PWI Malang Raya, Dishub Kota Malang, dan ITN bertemakan “Membedah Kemacetan di Kota Malang” di Ruang Serbaguna Teknik Kimia, Kampus I ITN Malang, Selasa (19/3/2019).

Pakar transportasi ITN, Dr. Ir. Nusa Sebayang, MT, menjelaskan solusi kemacetan Kota Malang. (rhd)

Pakar transportasi ITN, Dr. Ir. Nusa Sebayang, MT, menjelaskan solusi kemacetan Kota Malang. (rhd)

Jalan nasional terbentang mulai Balearjosari ke Raden Intan, Panji Suroso hingga Gadang, Satsui Tubun, belok ke perbatasan Kebonagung. Sementara jalan propinsi terbentang mulai bawah flyover Arjosari, perempatan Sabilillah, Soehat, Dinoyo, hingga Landungsari. “Sebenarnya jalan nasional itu wewenang pusat, dan jalan propinsi itu wewenang propinsi. Jadi harus ada akses baru melalui lingkar timur dan lingkar barat. Semata untuk memecah kendaraan yang tidak berkepentingan di Kota. Misal berkurang 40-60 persen, kota akan longgar. Jika tukar guling, misal dari Panji Suroso dibelokkan ke LA Sucipto hingga Ampeldento, tembus ke Gribig hingga terminal Hamid Rusdi itu jadi milik nasional. Sehingga semua lewat lingkar timur dan terintegrasi dengan tol timur. Ini membutuhkan sinergi 3 wilayah di Malang Raya. Kalau tidak, kemacetan akan terus terjadi bertahun-tahun,” papar Agus Mul, sapaan akrabnya.

Penyerahan cinderamata dari ITN kepada PWI Malang Raya dan Dishub Kota Malang. (rhd)

Penyerahan cinderamata dari ITN kepada PWI Malang Raya dan Dishub Kota Malang. (rhd)

Sementara untuk mengurai kemacetan dalam kota saat jam-jam tertentu, tetap dilakukan rekayasa agar tidak terjadi penumpukan kendaraan. Selain itu, masalah parkir harus dibatasi. Misal, dilarang parkir di atas trotoar, jika melanggar bisa diderek atau dikemposi. “Solusinya, dibuat kantong parkir dalam satu area,” tandas Agus.

Sementara itu, Kabid Angkutan Dishub Kota Malang, Oong Ngadiono, menyatakan load faktor angkutan kota sangat kecil hanya 40 persen, padahal standarnya 70 persen. Tak lain karena adanya transportasi online. Solusi angkutan massal dibutuhkan untuk mengurai kemacetan, sehingga mampu mengurangi jumlah mobil dan motor. “Berdasarkan data Samsat, setiap harinya ada 150 kendaraan baru, dengan porsi 25 mobil dan sisanya motor. Transportasi massal sudah diwacanakan sejak lama, bahkan pemerintahan sebelumnya. Dengan panjang Kota Malang sekitar 13 kilometer, tentunya harus disinergikan dengan 3 wilayah Malang Raya, agar berkesinambungan. Harus dihitung berdasarkan kuota penumpang dan ketersediaan kendaraan, serta pola keinginan/kebutuhan masyarakat,” jelas alumni ITN tahun 1991 ini.

Pakar transportasi ITN, Dr. Ir. Nusa Sebayang, MT, mengatakan butuh strategi khusus untuk mengubah perilaku pengguna kendaraan pribadi agar beralih ke moda transportasi massal. “Untuk memudahkan, harus terintegrasi dengan model kartu, bukan lagi langsung membayar ke supir. Agar lebih murah, harus disubsidi pemerintah. Namun juga diberikan pemahaman, jika macet berapa uang yang dikeluarkan. Diubah pemikirannya, jika uang tersebut dialihkan untuk investasi kartu terintegrasi akan lebih mudah. Selain itu, pembatasan lahan parkir dengan biaya lebih mahal, sehingga masyarakat beralih ke angkutan massal. Maka dari itu, angkutan umum harus disediakan dan disubsidi pemerintah,” tandas Dekan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITN ini. (rhd/yan)

Advertisement

Advertisement
Lewat ke baris perkakas