Surabaya
LBH Rilis Pelanggaran HAM di Jatim Sepanjang 2018
Memontum Surabaya—–Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya merilis catatan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sepanjang tahun 2018, yang menimpa masyarakat miskin dan marjinal di Jawa Timur. Sepanjang tahun 2018, LBH Surabaya telah mendapatkan permohonan layanan bantuan hukum sebanyak 436 kasus. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 422 kasus.
Namun dari 436 kasus tersebut, 18 di antaranya ditolak oleh pihak LBH Surabaya, karena bertentangan dengan visi misinya. Yakni seperti kasus pengedaran narkoba, pelaku pencabulan, pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan dan lain sebagainya.
Direktur LBH Surabaya, Abd Wachid Habibullah mengatakan sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH tersebut, sejumlah 75 persennya adalah warga Kota Surabaya.
“Kemudian disusul Sidoarjo sebanyak 7,1 persen, selebihnya adalah warga di seluruh Jatim bahkan ada dari luar Jatim yaitu sebanyak 18 kasus atau 4,14 persen,” kata dia saat ditemui di Kantor LBH Surabaya, Senin (17/12/2018).
Sepanjang 2018, setidaknya LBH Surabaya menerima tiga jenis kasus, kata Wachid, hal terdiri dari 291 kasus perdata, 119 kasus pidana, dan 8 kasus tata usaha negara.
Dari proporsi kasus di atas, dapat dilihat bahwa terdapat kasus pelanggaran HAM atau jenis kasus struktural yang menempati urutan pertama adalah kasus Perburuhan sebanyak 37 kasus, lalu kekerasan terhadap perempuan 13 kasus, dan pertabahan sebanyak 9 kasus.
“Untuk kasus pidana kasus terbanyak adalah, penggelapan 20 kasus, penganiayaan 13 kasus, penipuan 12 kasus,” kata dia.
Lalu dalam kasus perdata, sepanjang 2018 LBH Surabaya menangani jenis kasus terbanyak yakni berupa wanprestasi 49 kasus, waris 44 kasus, perceraian 40 kasus.
Kemudian dalam pelanggaran tata usaha negara, LBH Surabaya menangani jenis kasus terbanyak yakni, 2 kasus kependudukan, 2 kasus Kepegawaian, dan 2 kasus tanah dan perumahan.
“Sementara itu, LBH Surabaya juga menerima kasus pelanggaran HAM terbanyak yakni, 37 kasus pelanggaran hak perburuhan, 13 kasus kekerasan terhadap perempuan, 9 kasus penggusuran tanah dan perumahan, dan 5 kasus kriminalisasi,” kata Wachid.
Kota Surabaya menjadi penyumbang terbanyak kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM) di Jawa Timur. Dari 436 permohonan kasus yang diterima LBH Surabaya, porsi Surabaya bahkan mencapai 75 persen.
“Sebagian besar masyarakat yang datang ke LBH Surabaya adalah warga Kota Surabaya, yakni sebanyak 75 persen,” katanya.
Berdasarkan monitoring dan catatan LBH Surabaya, sepanjang 2018, salah satu permasalahan pelanggaran HAM di Surabaya yaknj, ada di sektor miskin kota, yakni terkait penggusuran paksa dan penertiban pedagang kaki lima.
Wachid mengatakan, berdasarkan tracking media LBH Surabaya terdapat 8 kasus penggusuran rumah/bangunaan liar di Surabaya di antaranya adalah; Keputih, Medokan Semampir, Osowilangon, Dinoyo, Sepanjang Kali Jagir, Tidar Gunawangsa, dan Tambang Boyo.
“Dari 8 kasus tersebut, modus penggusurannya antara lain normalisasi sungai, penaataan kota dan pelebaran jalan raya,” kata dia.
Dari penggusuran paksa tersebut, jumlah korban yang terdata LBH Surabaya bahkan mencapai lebih dari 841 kepala keluarga.
Data itu, kata Wachid bisa saja bertambah karena ada beberapa kasus yang belum terdeteksi korbannya antara lain yang di Tambang Boyo, Dinoyo, Osowilangon dan Sarioso.
Selain itu kata Wachid, ada pula kasus pelanggaran yang terjadi dalam sektor penertiban pedagang kaki lima sepanjang tahun 2018 di Surabaya.
Hal itu kata Wachid merefleksikan bahwa Pemerintah Kota Surabaya selama ini abai dengan keadilan rakyat miskin kota. Sekaligus pula sebagai cerminan bahwa pemkot belum memberikan layanan bantuan hukum, sebagai mana tertuang dalam UU nomor 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum dan penerbitan perda bantuan hukum.
“Ini menjadi catatan bagi Surabaya yang selama ini disebut sebagai kota ramah HAM dan kota toleran, ternyata Surabaya masih belum bisa memenuhi hak masyarakatnya,” kata Wachid.
Perda bantuan hukum itupun di kota Surabaya tahun kemarin baru diinisiasi, dan tajun ini masih dalam tahap pembahasan di DPRD.
“Belum berfungsi dan belum disahkan,” kata Wachid.
Pihaknya pun mendorong agar Pemkot Surabaya sesegera mungkin membuat kebijakan untuk memastikan akses keadilan yang meluas kepada masyarakat miskin dan marjinal di Surabaya. (sur/ano)