Kota Malang

DPT, Bukan Harga Mati Bagi Hak Konstitusi

Diterbitkan

-

DPT, Bukan Harga Mati Bagi Hak Konstitusi

Saya teringat ketika pertama kali bergabung dalam lembaga pengawas pemilu di Kota Malang, pada tahun 2008. Saat itu saya sebagai Panwascam Blimbing. Masyarakat Kota Malang pada tahun itu menorehkan sejarah Pilkada dengan sistem pemilihan langsung pertama kali. Periode sebelumnya, walikota dipilih oleh anggota dewan. Namanya pertama kali, pasti ada saja kendala.

Salah satunya adalah proses pembentukan lembaga Panwas Pilkada, yang saat itu, panitia seleksinya dibentuk oleh DPRD Kota Malang. Sudah menjadi tradisi birokrasi, jika prosedurnya terlalu panjang. Dampaknya adalah pembentukan Pengawas Pilkada di tingkat kecamatan. Menurut saya, saat itu pembentukannya terlambat. Karena panwascam dilantik ketika DPS (Daftar Pemilih Sementara) sudah ditetapkan KPU dan diumumkan ke publik.

Pemutakhiran data pemilih dari DPS menjadi DPT (Daftar Pemilih Tetap) saat itu benar-benar menjadi fokus pengawasan. Pasalnya, UU no 32/2004 tentang pilkada, mengatur pemilih bisa menggunakan hak pilihnya, jika terdaftar dalam DPT. Harga mati? Ya, untuk saat itu.

Begitu juga dengan tren pemberitaan media. Isu krusial saat itu adalah pemilih yang meninggal dunia masih terdaftar, pemilih ganda, golput dan pemilih yang tidak terdaftar. Kategori terakhir ini yang menjadi perhatian lebih. Nyaris tiap hari, saya mendapat sms atau telpon dari Panwaskota Malang, agar menindaklanjuti laporan masyarakat yang belum terdaftar dalam DPS.

Advertisement

(baca juga : KTP-elektronik, Syarat Konstitusi yang Menghilangkan Hak Pilih )

Harus diakui jika ini membuat jajaran panwascam kelabakan. Karena begitu selesai dilantik, harus tancap gas mengawasi dan menampung, juga melakukan kroscek ke rumah penduduk untuk memastikan laporan mereka.Parahnya, ini berlanjut hingga DPT ditetapkan. Maka, warga Kota Malang yang tidak tercatat dalam DPT, dipastikan tidak bisa menggunakan hak pilih.

Laman: 1 2

Advertisement
Lewat ke baris perkakas