Kota Malang

Okky Madasari, Usung Narasi Wacana Kritis, Bukan Sekedar Simbolis

Diterbitkan

-

Okky Madasari, Usung Narasi Wacana Kritis, Bukan Sekedar Simbolis

Memontum Kota Malang – Pergerakan zaman di era milenial dikendalikan oleh narasi, semisal di era setelah ’98 (reformasi, red.), kebebasan berpendapat sudah dijamin Negara. Secara hukum, masyarakat sudah tidak lagi dibayang-bayang ancaman sensor dan pemberedelan. Momentum ini juga ditandai dengan mudahnya tiap orang mengakses informasi. Namun dalam atmosfer kebebasan ini, banyak buku-buku yang digandrungi bergenre dan bermuatan narasi wacana simbolik.

“Contohnya buku novel Ayat-Ayat Cinta. Novel ini sangat digandrungi hingga naik cetak 160 ribu eksemplar dalam kurun tiga tahun. Novel yang dilabeli sastra Islami seperti itu membentuk standar bagaimana novel Islami itu. Akhirnya banyak yang meniru,” jelas Okky Madasari, penulis kenamaan Indonesia yang terkenal dengan novel best seller “Maryam”.

Novel-novel seperti itu, sambung Okky, hanya mengulik nilai-nilai ke-Islaman di permukaan saja. Kerap kali yang ditunjukan terkait ke-Islaman hanyalah sebatas simbol, seperti salam, sholat, dan ritus ibadah rutinan lainnya. “Novel-novel seperti itu kehilangan roh ke-Islamannya dan tidak memberikan wacana kritis. Saya akhirnya menggali akar budaya seperti itu darimana datangnya. Akhirnya saya mendapatkan jawaban, yaitu berawal dari novel-novel Buya Hamka,” papar Okky, saat mengisi kajian pekanan Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang (PSIF UMM) bertemakan “Sastra, Agama & Perdamaian”.

Menurutnya, Buya Hamka tidak diragukan lagi keulamaannya, namun Buya memilih model novel-novel demikian karena berada di bawah tekanan kolonialisme yang menekan narasi-narasi tentang semangat perjuangan. “Ya, wajar kalau Buya Hamka memilih gaya seperti itu, agar masih bisa bersuara tanpa harus ditekan. Kan Buya Hamka punya alasan, kalau penulis jaman sekarang apa alasannya?” tanya Okky.

Advertisement

Di jalur kepenulisan yang dipilihnya, Okky memilih untuk tetap memberi sajian narasi dengan sentuhan wacana kritis untuk mengkritisi label Islam simbolik. Menurutnya, dengan memberi sajian narasi wacana kritis, seorang penulis dapat melawan hegemoni narasi wacana Islam simbolik. “Wacana kritis seperti ini harus dibawa ke ranah yang lebih luas ke dalam masyarakat. Sastra dan narasi yang membentuk perdamaian itu adalah narasi yang memberi wacana kritis dan tidak dogmatis yang hanya membuat orang setuju, tapi tidak tahu apa yang disetujui,” jelas Okky.

Menurutnya mulai sekarang, para penulis harus berpacu dan berani memberi sentuhan wacana kritis di tiap karya yang ditelurkannya. “Kita harus merebut ruang pembaca dan merubah pola pikir mereka untuk berani mengkritisi dan menghindari gagasan dogmatis, agar tidak mudah terjebak radikalisme yang berujung ekstremisme,” pungkasnya. (rhd/yan)

Advertisement
Lewat ke baris perkakas