Ngopi pagi
Corona, Hoax Pun Bertebaran Kemana-Mana
LAGI-LAGI saya tergelitik menulis seputar berita hoax, yang belakangan begitu gencar di medsos terutama WA. Maka tulisan saya ini semoga bisa menjadi pencerahan bagi masyarakat agar bijak bermedsos. Tidak asal share, sebelum benar-benar terbukti kebenarannya.
Sebelumnya, saya telah menulis dampak sosial covid-19, yaitu banyak bermunculan ‘profesor’ WA. Apa itu? ‘Profesor’ WA yang saya maksudkan, adalah seseorang atau mereka yang memposting atau men-share tips-tips atau kiat-kiat tentang teknis pembuatan disinfektan, bilik sterilisasi, hand sanitizer dan pembuatan masker. Jika itu digunakan untuk konsumsi pribadi mereka, ya gak apa-apalah.
Tapi akan menjadi persoalan jika digunakan oleh orang lain. Apalagi jika ada ajakan, agak maksa lagi. Lebih lagi jika seseorang ini dijadikan referensi, padahal dia tidak punya kompetensi di bidang kimia atau medis. Luar biasa lagi, jika seseorang tanpa kompetensi di bidang kimia dan medis, malah berani ngeyel jika seorang profesor kimia ITS, guru besar lagi, bukan bidangnya menyampaikan teknis bilik disinfektan. Jika berdampak buruk, siapa yang bertanggungjawab?
Baca : Corona dan ‘Profesor’ Grup WA
Kali ini, tulisan saya soal hoax kejadian kriminal. Saya contohkan, kejadian aksi massa menghajar seorang penjahat. Wartawan saya yang ngepos di liputan hukum dan kriminal, masih kelabakan nyari data dan konfirmasi, tiba-tiba vidio beredar. Seorang pemuda diinterogasi massa, sambil dikaploki di pos kamling. Postingannya, dikasih keterangan rampok tertangkap di Jl Hamid Rusdi Bunulrejo. Saya juga sempat mengirimkan vidio itu ke wartawan saya.
Ternyata dia sudah melakukan peliputan, dan ternyata bukan rampok. Tapi kasus penipuan dan korbannya teman pelaku sendiri. Bahasa malangan, adalah sanjipak. Baca : Sempat Dihajar Massa Dikira Maling HP, ‘Jebule Sanjipak’
Meski begitu, sebagian masyarakat masih ngeyel itu rampok. Padahal keterangan resmi dari Polsek Blimbing adalah pidana penipuan/penggelapan alias sanjipak. Itulah yang saya maksudkan polisi medsos. Lalu apa hubungannya dengan corona?
Terhubung erat karena Menkumham saat terjadi covid-19, membuat kebijakan memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat ke warga binaan. Hingga muncul asumsi jika gara-gara warga binaan dibebaskan, tingkat kriminalitas meningkat. Padahal tidak ada bukti, jika semua yang dapat asimilasi berbuat jahat. Mantan napi juga manusia, mereka juga punya hak untuk bertobat. Juga punya hak untuk mendapat reward atas perilaku baik selama di dalam Lapas.
Apa tidak ada yang berbuat jahat lagi? Ada, ini buktinya. Baca: Residivis Curanmor Dihajar Massa Baru 3 Hari Bebas Asimilasi dari Lapas Madiun
Apakah pelaku berbuat jahat karena dibebaskan dari Lapas? Ya bukanlah! Siapapun orangnya, dia berbuat jahat dikarenakan punya niat jahat dan ada kesempatan. Bukan soal diberi asimilasi Kemenkumham.
Sebelum pendemi corona, sudah terjadi kejahatan. Di Kota Malang, tiap hari terjadi curanmor. Tapi masyarakat tidak begitu memperhatikan. Ketika wabah corona, mendadak banyak orang menjadi ‘polisi’, ‘jaksa’ sekaligus ‘hakim’. Banyak kejadian kejahatan, tanpa melalui media pers, tanpa ada keterangan atau konfirmasi dari pihak yang bersangkutan atau pihak yang berwenang, sebuah rekaman cctv luar negeri beredar dan dikasih tulisan kejadian di Sawojajar Kota Malang di toko anu.
Tanpa ada wawancara dengan korban atau polisi yang menangani, tanpa ada keterangan hari tanggal jam kejadian. Tapi yang men-share ngeyel bahwa itu benar. Padahal dia tidak punya kompetensi membenarkan kejadian perampokan. Ini yang mungkin tidak disadari masyarakat kita. Bahwa yang punya kompetensi memberitakan peristiwa, kejadian, kegiatan dan menayangkan artikel, adalah media pers. Person yang punya kompetensi menulis berita adalah wartawan yang diatur UU Pers 40/1999. Parah lagi, jika yang menyebarkan berita hoax adalah mereka yang berstatus pendidikan menengah ke atas.
Apalagi ditengah pendemi corona, maka bijaklah dalam bermedsos. Sadarilah jika bukan wartawan, maka jangan asal memberitakan, jangan asal posting, jangan asal men-share. Karena sekali lagi, jika berdampak buruk, siapa yang bertanggungjawab? (*)
Penulis :
Januar Triwahyudi
Pemred memontum.com