Kota Malang

Akibat Politik Identitas, Indonesia Terpolar, Rentan Perpecahan Kelompok Masyarakat dan Bangsa

Diterbitkan

-

Yusli Effendi, S.IP., MA, Prof Dr Unti Ludigdo, Ak, Rachmad Gustomi, S.IP., M.IP., dan Wawan Sobari, S.IP., MA., Ph.D, dalam Refleksi Akhir Tahun bertajuk "Membaca Indonesia yang Terpolar". (rhd)

Memontum Kota Malang—Perdebatan politik nasional makin nampak di permukaan, dimana netizen melalui media sosial semakin personal berkompetisi mengarah pada dua figur. Politik identitas kelompok dalam membela kandidat, kemudian diliput dan direproduksi media, menghasilkan polarisasi atau keterbelahan politik yang cenderung ekstrim di masyarakat. Dalam kasus ini, figur/tokoh politik menjadi lebih penting, dibandingkan kebijakan-kebijakan yang dibuat, maupun institusi pemerintah/negara.

Hal ini diungkapkan oleh Wawan Sobari, S.IP., MA., Ph.D, pakar politik dari FISIP UB, dalam Refleksi Akhir Tahun bertajuk “Membaca Indonesia yang Terpolar” di Gedung B Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya (FISIP UB) lantai 7, Rabu (26/12/2018). Hadir sebagai pemateri lainnya, yaitu Rachmad Gustomi, S.IP., M.IP., (pakar pemerintahan), dan Yusli Effendi, S.IP., MA. (pakar Hubungan Internasional).

Semakin mendekati 2019, lanjut Wawan, polanya semakin personal. Menurutnya, yang mengedepan itu figur, bukan lagi partai atau institusi pemerintah. “Sangat riskan, jika berpendapat atau mengkritik pemerintah berarti anti incumbent. Sehingga muncul politisasi identitas (identity politics), bukan political identity. Nah, konsep yang digunakan indikasinya Solidaritas, Resistensi, Simplikasi (SRS),” terang Wawan.

Wawan mencontohkan melalui analisis big data, seperti Twitter. Pada Reuni 212 ada banyak tagar atau kata mengarah ke ganti presiden. Jika bicara Jokowi, muncul SRS menyangkut ekonomi, pemerintah, dan endingnya ganti presiden. Jika bicara Rocky Gerung, muncul kecebong, kampret, pelemahan rupiah, dan lainnya. Jika bicara Banser, muncul Papua, OPM, FPI, dan lainnya. “Namun, masih ada harapan rekonsiliasi, dengan upaya pelibatan, rekognisi (pengakuan), dan reduksi personalisasi politik. Selain itu, dapat juga dengan melakukan kebijakan dan gerakan yang mendorong ‘keseimbangan identitas’. Dengan kata lain dapat disebut juga gerakan mendesak penguatan identitas nasional,” terangnya.

Advertisement

Menurut Wawan, Pilpres 2014 dinilai relatif lebih baik dibandingkan 2019, dimana adanya medsos lebih memperparah keadaan. Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun juga Amerika. Political media sebagai alat blow up isu.

Disinggung jumlah golput, Wawan mencontohkan Pilkada kota Malang dibandingkan Pilkada Jatim pada pertengahan 2018. Dimana masyarakat memiliki kapasitas yang cukup dan siap untuk memilih. Sementara Pilkada Jatim masih minim informasi dan bingung memilih. “Sama halnya dengan Pileg nanti, masyarakat cenderung bingung. Namun, golput akan berkurang, karena pengaruh elektabilitas Pilpres sangat tinggi,” tandasnya.

Dekan FISIP UB Prof Dr Unti Ludigdo, Ak, mengatakan opini-opini sepanjang tahun oleh beberapa tokoh, politisi, dan lainnya yang muncul layak menjadi rangkuman dalam Refleksi Akhir Tahun 2018. “Agak rawan dalam mengemukakan pendapat saat ini, karena jika menyinggung bisa dilaporkan. Padahal yang disampaikan realita. Baik dalam dimensi sosial dan ideologi, pemerintahan, dan hubungan internasional. Padahal semua hal kemungkinan menjadi perdagangan atau kapitalisasi,” jelas Unti, dalam sambutannya.

Sementara Rachmad Gustomi, S.IP., M.IP., (pakar pemerintahan), menyatakan polarisasi saat ini mengarah kepada siapa yang benar. Dampaknya, pendangkalan agenda publik, bukan lagi kebenaran. Karena yang muncul adalah pembenaran. “Polarisasi menyebabkan melemahnya kedalaman kritik terhadap kebijakan publik. Karena yang dikritik bukan isinya, tapi kulitnya. Yang dapat kita lakukan adalah pendidikan politik. Inilah fungsi kampus, media, dan pilar lainnya. Maka 2019 menjadi momen terbaiknya,” ujarnya.

Advertisement

Sedangkan Yusli Effendi, S.IP., MA (pakar Hubungan Internasional), mengatakan, jika sebelumnya isu internasional dielakkan, maka saat ini isu internasional menjadi perhatian. Misal kasus Rohingya, Muslim Uygur, dan lainnya. “Masyarakat menuntut pemerintah RI agar bersuara, bersimpati, dan berempati terhadap kejadian internasional. Namun, urusan wilayah luar negeri itu menjadi wewenang negara tersebut. Akhirnya, yang bisa dilakukan masyarakat hanya bisa boikot, atau mengancam. Atau mungkin ada gerakan kemanusiaan daei masyarakat melalui pengumpulan dan penyaluran bantuan,” tandas Yusli. (rhd/yan)

Advertisement
Lewat ke baris perkakas