KREATIF MASYARAKAT
Buang Apel Hingga Ratusan Ton, Petani Bumiaji Temukan ‘Obat’ Penyakit Mata Ayam
Memontum Kota Batu – Penyakit mata ayam yang membuat petani apel kelimpungan dan putus asa, sedikit terobati. Slamet (57), petani dari Dusun Binangun, Desa/Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, menceritakan pengalamannya menggunakan fungisida temuan Rudy di ladang apelnya yang memiliki luas 7 hektar.
Slamet yang cukup gigih dan ulet dalam mempertahankan lahan apel miliknya, termasuk sempat merugi hingga miliaran rupiah, karena pernah membuang sekitar 70 ton hasil panennya karena rusak, mulai punya cara dalam mengatasi penyakit mata ayam pada tanaman Apel. Walau pun, selama perjalanannya mengatasi penyakit itu, butuh biaya yang mahal.
“Saya pernah mengalami kerugian, yang kalau di total bisa sampai miliaran rupiah karena ada ratusan ton apel yang saya buang. Bahkan, satu lahan saja pernah 70 ton, yang harus terbuang,” ujarnya menceritakan perjalanannya mengatasi mata ayam.
Meruginya petani apel ini, dirasakan hingga kurun waktu sampai tiga tahun terakhir ini. Bahkan, Slamet mengaku telah mengeluarkan modal sebanyak Rp 2,3 miliar. Uang itu, didapatkan dari berhutang sebab perlu untuk mempertahankan apel miliknya.
“Sejak memakai fungisida temuan Rudy, sekitar dua bulan lalu, buah apel tampak sehat. Meskipun, ada satu dan dua buah terserang. Namun, secara keseluruhan kondisinya bisa diatasi. Bintik mata ayam tidak sampai merusak apel. Penyebaran wabah juga tidak meluas,” katanya.
Sambil menunjukkan tanaman apel yang sedang berbuah di ladangnya, Slamet berharap, besar panen apel kali ini bisa mendapatkan keuntungan. Meski pun, dirinya tahu bahwa rupiah yang bakal didapat nanti akan digunakan untuk membayar hutang jua.
“Hutang saya banyak. Kalau buat beli Rubicon (mobil, red) bisa dapat dua,” katanya sambil tersenyum, Rabu (20/01) tadi.
Slamet sendiri, tetap bertahan menjadi petani apel, karena memiliki kebanggaan tersendiri. Apel adalah sumber kehidupan baginya, maka tidak mungkin mematikan sumber penghidupannya.
“Penyakit mata ayam itu sendiri nampak ketika apel telah berusia 60 hari sejak berbunga. Mulai nampak bintik hitamnya. Sudah dilakukan penyemprotan masih saja tidak mempan. Menggunakan obat apa saja juga tidak ada hasilnya. Terus masih saya rawat secara terus menerus dengan melakukan pengompresan sedikit demi sedikit,” paparnya.
Awal mula Slamet bertemu Rudy, siapa sangka melalui perantara temannya. Saat itu, dirinya mengeluhkan kepada temannya akan serangan mata ayam yang tiada henti. Sudah banyak biaya dan tenaga yang dikeluarkan, namun tidak membuahkan hasil bagus.
“Kota Batu sebagai kota apel itu hanya slogan saja namun pada kenyataannya banyak petani apel yang dibunuh. Salah satunya adalah sangat sulitnya melakukan perawatan apel,” keluhnya.
Kemudian Slamet bertemu Rudy dan membeli fungisida ciptaan lelaki yang telah banyak melakukan penelitian di sektor pertanian tersebut. Tidak sulit bagi Slamet untuk mendapatkan bahan.
Dengan mencoba formula ciptaan Rudy tersebut, sejumlah apel di ladangnya tampak bagus. Beberapa hari ke depan, bahkan sudah siap dipanen. Terutama Apel Manalagi.
Slamet merindukan, panen apel yang berlangsung cemerlang seperti tahun-tahun sebelum 2018. Kala itu, hasil panen apel selalu memberikan dampak positif bagi petani termasuk penjual.
“Saat memasuki tahun 2018 atau tiga tahun belakangan, saya mulai banyak membuang buah karena terserang hama mata ayam. Yang paling terasa terjadi pada 2018. Saya membuang 60 ton hingga 70 ton. Dari 1 Ha ladang. Angka kerugiannya mencapai Rp 350 juta,” kenangnya.
Padahal, tambahnya, di tahun sebelumnya sekitar 2016, Slamet bisa memanen hingga 80 ton Apel Manalagi dan 15 ton Apel Anna.
“Dengan menggunakan fungisida ini, buahnya bisa lebih bagus. Memang ada beberapa yang masih terkena namun tidak separah dulu,” terangnya.
Dengan adanya temuan itu, Slamet berharap panen apel kali ini bisa lebih bagus. Dirinya memperkirakan akan membuang sekitar 5 ton apel saja pada panen kali ini.
“Saya hanya berharap, Pemkot Batu bisa menawarkan solusi stabilitas harga apel. Harga apel anjlok saat ini. Petani harus menghadapi sendirian anjloknya harga apel. Padahal, Pemkot Batu memiliki keleluasaan untuk mengendalikan harga melalui kebijakan yang dikeluarkan,” harap Salamet. (bir/sit)