KREATIF MASYARAKAT
Tradisi Merawat Pusaka Warisan Leluhur di Bulan Muharam
Memontum Probolinggo – Bulan Suro atau dalam kalender Islam adalah 1 Muharram, selalu identik dengan kegiatan ‘ngumbah keris’ atau jamasan keris untuk tradisi Jawa. Ngumbah atau jamas yang berarti mencuci atau tujuannya adalah membersihkan/mensucikan dari kotoran dan keris dimaknai sebagai perwujudan senjata yang menjadi pusaka bagi pemiliknya.
Tradisi ini diyakini sudah dilakukan oleh para pemilik pusaka sejak turun temurun. Apalagi, jika pusaka diyakini memiliki keistimewaan atau kekuatan tertentu. Sehingga, membuat pemilik pusaka harus rajin ngruwat atau merawat pusaka tersebut, utamanya di malam 1 suro.
Hal ini pula yang dilakukan oleh salah seorang kolektor benda pusaka, M.Yusuf, warga RT/RW 01/03 Kelurahan Jati Kecamatan Mayangan. Di malam 1 suro ia melakukan ritual ‘ngumbah keris’ dengan bantuan seorang tenaga ahli khusus.
M Yusuf mengatakan, Suro dimaknai sebagai bulan pertama dalam sistem kalender Jawa-Islam. Penyebutan kata ‘suro’ bagi orang Jawa ialah bulan Muharam dalam kalender Hijriah. Kata tersebut berasal dari kata ‘Asyura’ dalam bahasa Arab dan dicetuskan oleh pemimpin Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung.
“Namun Sultan Agung masih memadupadankan penanggalan Hijriah dengan tarikh Saka, tujuannya dapat merayakan keagamaan diadakan bersamaan dengan seluruh umat Islam dan menyatukan masyarakat Jawa yang terpecah saat itu antara kaum Abangan (Kejawen) dan Putihan (Islam),” terang Yusuf, Senin (24/8/2020).
Makna malam 1 Suro bagi orang Jawa di beberapa daerah mengenai bulan Suro diartikan sebagai bulan yang menyeramkan, seperti penuh bencana dan bulannya para makhluk gaib. Beberapa orang juga masih mempercayai dengan berbagai macam mitos yang pantang untuk dilanggar, seperti larangan malam 1 Suro untuk keluar rumah.
“Dari berbagai hal yang telah disebutkan di atas, banyak juga perayaan tradisi Jawa serta amalan yang dilakukan pada malam 1 Suro untuk memperingati perayaan malam 1 Suro atau 1 Muharam. Perayaan-perayaan tersebut, seperti tapa bisu, tirakatan, kungkum, kirab budaya, dan pencucian pusaka. Sedangkan amalan yang biasa dilakukan oleh umat Islam, contohnya seperti melakukan puasa sunah (Asyura dan Tasua) dan menyantuni anak yatim,” imbuh Yusuf.
Hal yang sama juga dikatakan Agus, setidaknya ada banyak pusaka koleksinya yang disucikan dengan ritual ‘ngumbah keris’. Mulai dari pusaka berbentuk keris hingga tombak yang diyakini merupakan peninggalan sejak zaman Kerajaan Mataram dan Mojopahit.
Agus mengaku, tidak semua pusaka koleksinya itu hasil perburuannya. Namun ada juga pusaka-pusaka itu yang diperolehnya dari ‘getaran’ spiritualnya. “Pusaka itu istilahnya harus mau ikut sang empunya. Kalau dia (pusaka) itu tidak mau ikut kita ya tidak bisa dipaksa,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, salah satu pusaka keris milik leluhurnya pernah disimpan oleh salah satu saudaranya. Namun, karena tak ‘berjodoh’ keris itu terkesan memberontak. “Entah percaya atau tidak, tapi hal semacam ini biasanya juga tersampaikan lewat mimpi. Dalam mimpi saya pernah didatangi oleh seseorang dengan pakaian semacam jubah putih, dan berkata ingin ikut saya. Ini setelah saya pegang keris dari leluhur itu,” pungkasnya.
Sejak itu lah, ia pun merawat pusaka yang dimilikinya, termasuk disaat malam 1 Suro dalam kalender Saka (Jawa) atau setiap malam 1 Muharram dalam kalender Hijriah (Islam).
Hingga saat ini, ia baru memiliki beberapa benda pusaka, seperti dua Keris Semar Mesem, Keris Mardikan dengan pamor Bulu ayam, Keris Kiai Sengkelat yang diyakini dari era Majapahit, keris Sabuk Inten dengan pamor Sekar Manggar serta pusaka jenis tombak dan keris lainnya. (geo/mzm)