Kota Malang
KPK Menerjang Pilkada, Ibarat Bus Berhenti di Depan Hidung Pedestrian
Mencermati penyelenggaraan pilkada tahun 2018 ini, saya mengibaratkan dengan seseorang yang sedang berjalan di trotoar. Dia menikmati setiap langkah dan suasana pedestrian, sambil mendengarkan musik di earphone. Begitu nikmatnya, kepalanya pun mengalun mengikuti irama musik. Wessss…..bruak! Tiba-tiba sebuah bus berpenumpang penuh, lewat persis di depan hidungnya dan berhenti mendadak di samping telinga kirinya.
Hanya sejengkal jaraknya. Apapun masih dimungkinkan terjadi. Tapi saat itu, sudah ada yang pasti. Lalu lintas macet. Masyarakat pun gempar. Petugas terkait pun lalu lalang. Si pedestrian pun terhenyak. Namun kakinya harus tetap melangkah ke depan. Meski dia menoleh melihat ketegangan yang bisa berimbas kepadanya. Dia harus tetap melangkah, dan tidak boleh terpengaruh. Minimal, seolah-olah tidak terpengaruh.
Ya, pilkada harus tetap berjalan. Penyelenggara tidak boleh ikut-ikutan kelabakan seperti tim paslonkada (pasangan calon kepala daerah). Wajar jika tim paslon kebakaran jenggot. Ibarat mau tanding sepak bola. Baru mau kick off, tiba-tiba strikernya gak bisa main. Kan ada striker kedua. Betul. Tapi ini kerja tim, yang masing-masing punya peran sesuai skill nya.
Ini kan resiko terjun di dunia politik?. Oh, tunggu dulu. Bagi saya, kondisi ini bukan resiko dunia politik. Melainkan konsekuensi dari perbuatan masing-masing individu. Saya punya teman, mantan pemburu penjahat narkoba. Sekarang, dia Kepala Unit Buser Reskrim Kota Malang. Saya pernah tanya ke dia, karena kebetulan ada tersangka narkoba di lingkungan kampung saya.
Kemungkinan salah tangkap ada apa tidak? Dia jawab dengan tegas, tidak akan salah tangkap jika anggota Polri bekerja sesuai prosedur, SOP. Polri terikat sumpah jabatan, anggota Polri dididik menegakkan hukum. Tapi kok masih ada oknum Polri yang nakal? Jawab teman saya ini dengan tegas, itu contoh anggota Polri yang tidak taat SOP (Standar Operasional Prosedur).
Betul juga, semua abdi negara yang melanggar SOP statusnya adalah pelanggaran disiplin. Definisi disiplin, bisa diartikan sesuai SOP. Sama halnya dengan sekian banyak kepala daerah plus anggota DPRD, yang tertangkap KPK. Mereka juga abdi negara dan wakil rakyat yang melanggar SOP. Selain itu, diduga melakukan unsur pelanggaran pasal yang dilarang UU tipikor. Masih diduga, masih tersangka, tapi sudah ditahan.
Terus, nasibe pilkada yo opo sam? Kata saya, tahapan pilkada harus tetap jalan. KPU harus maju tak gentar. Kalau tahapan pilkada gak jalan gara-gara tindakan KPK, wah KPU malah bisa babak belur. Bisa menjadi pelanggaran etik. Karena tidak profesional, tidak prosedural bahkan bisa terindikasi tidak netral. Bisa juga pelanggaran administratif.
Lebih konyol lagi, ketika ada yang mengusulkan agar KPU koordinasi dengan KPK, memintakan ijin kampanye. Karena menjadi kewajiban KPU menghadirkan paslon saat kampanye atau saat acara debat paslon. Undang undang apa yang kau pakai bung? Negara kita bukan negeri antah berantah, KPUD harus bekerja berdasarkan UU Pilkada, PKPU dan SOP. Atau kau mau bikin UU sendiri, KPK, jaksa dan Polri dilarang tangkap kepala daerah yang masih menjabat atau yang masih kampanye.
Masih beruntung pembatalan paslon, sebatas money politic yang terstruktur, masif dan sistematis. Itu pun sulit dibuktikan. Andai saja UU Pilkada mengatur, paslon bisa dibatalkan pencalonannya jika ditahan KPK, bisa lain ceritanya. Bagaimana dengan penggantian salah satu paslon? Bisa memang, jika berhalangan tetap. Ini sesuai UU Pilkada no. 10/2016. Tapi konyolnya lagi, ada pihak yang salah mengartikan berhalangan tetap. Begitu percaya dirinya, dia menyatakan jika kondisi yang dialami saat ini adalah berhalangan tetap.
Padahal dalam UU Pilkada no. 10/2016 dan PKPU no 3/2017 sudah tertulis jelas, kriteria berhalangan tetap. Yaitu, meninggal dunia dengan menyertakan surat keterangan dari kelurahan; Sakit, dengan menyertakan surat keterangan dari pihak yang berkompeten di bidang kesehatan; Terpidana inkrach, yang sudah berkepastian hukum.
Jadi menurut saya, bukan lagi ibarat naik bus dan resiko ditanggung penumpang. Karena saat ini seluruh penumpang bus ditanggung asuransi jasa raharja. Namun, ibarat naik odong-odong atau mobil giling padi. Sudah jelas melanggar UULLAJ, eh malah ngebut, motong jalan, nabrak pejalan kaki. Resiko benar-benar ditanggung sopir dan penumpang. Karena belum ada yang namanya SIM odong-odong dan karcis porporasi untuk penumpang odong-odong. (*)