Surabaya
Dirjen Patdono Suwignjo: Kita Perlu Buat Politeknik Menjadi Pilihan Menarik
Memontum Surabaya—-Pendidikan vokasi merupakan salah satu tulang punggung dalam mencetak sumber daya manusia terampil dan berkualitas yang sangat dibutuhkan dunia industri. Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi tengah gencar merancang berbagai kebijakan revitalisasi pendidikan vokasi untuk menyelaraskan kurikulum pendidikan vokasi agar sesuai dengan kebutuhan industri dan tantangan Revolusi Industri 4.0. Pendidikan Vokasi diharapkan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki berbagai sertifikat kompetensi.
Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti Kemenristekdikti, Patdono Suwignjo mengatakan bahwa pendidikan vokasi di Indonesia memiliki tiga tantangan yang harus diselesaikan.
Pertama yaitu ‘Mindset’ masyarakat yang belum menempatkan pendidikan vokasi sebagai prioritas utama dalam melanjutkan pendidikan. Kedua yaitu belum optimalnya keterlibatan dunia industri dalam pengembangan pendidikan vokasi. Ketiga, perguruan tinggi swasta belum mau membuat politeknik, sehingga jumlah pendidikan vokasi masih terbatas dan didominasi dari perguruan tinggi negeri.
“Selama ini para orang tua lebih memilih menyekolahkan anaknya ke universitas dibanding politeknik. Kita perlu menyadarkan masyarakat agar mau sekolah vokasi. Kita perlu buat politeknik menjadi pilihan yang menarik”, ujar Patdono Suwignjo dalam kegiatan ruang diskusi yang diselenggarakan oleh salah satu media cetak di Surabaha. Diskusi bertajuk “Menyiapkan Perguruan Tinggi untuk Melihat Tantangan dan Peluang di Era Disruption” digelar di Longue PT Jawa Pos Koran, Gedung Graha Pena, Surabaya (20/12/2018).
“Saat ini, politeknik hanya ada 5,4% dari perguruan tinggi di Indonesia. Sementara data BPS menyebutkan bahwa lulusan universitas yang menganggur bertambah 10%, sedangkan lulusan pendidikan vokasi berkurang 30%,” imbuhnya.
Patdono juga menekankan perlunya mengubah kurikulum pada pendidikan vokasi yang lebih mengacu pada industri. Kurikulum tersebut, menurutnya perlu mengacu pada kurikulum vokasi di Jerman yang mengaplikasikan dual system, yakni 50% pembelajaran di perguruan tinggi dan 50% praktik di industri.
Pendidikan vokasi diyakini dapat meningkatkan daya saing masyarakat Indonesia di dunia kerja. Jika pendidikan di universitas melahirkan akademisi berijazah, maka pendidikan vokasi melahirkan tenaga terampil bersertifikat yang sudah tentu juga memiliki ijazah. Hal inilah yang menjadi nilai tambah yang dibutuhkan oleh industri.
“Pendidikan vokasi seperti politeknik tidak hanya memberikan ijazah karena ijazah kurang laku untuk digunakan melamar pekerjaan di industri, (sedangkan) yang laku adalah sertifikat kompetensi yang dikeluarkan dari lembaga kredibel,” tuturnya.
Pada acara tersebut Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti berdiskusi santai bersama Badri Munir Sukoco Ketua Badan Perencana dan Pengembangan Unair, Djwantoro Hardjito Rektor Universitas Kristen Petra dan Akhyari Hananto Founder GNFI & SEASIA, dengan moderator Suko Widodo dari Universitas Airlangga.
Senada dengan Patdono, Badri Munir Sukoco juga menyampaikan mengenai pentingnya membangun daya saing generasi muda Indonesia. Menurutnya, nilai IPK saja tidak cukup untuk bersaing mendapatkan pekerjaan, melainkan perlu adanya kreativitas untuk menciptakan ekonomi baru.
Rektor Universitas Kristen Petra Djwantoro Hardjito juga menjelaskan siasatnya dalam menyiapkan perguruan tinggi dalam menjalani era disrupsi. Caranya dengan mengembangkan program baru di perguruan tingginya.
“Sekarang industrinya sudah beda, kita perlu ubah kurikulumnya. Misalkan, dulu pendidikan sastra hanya jadi penikmat sastra saja, sekarang kita dorong sastra untuk meng-create sesuatu sehingga masuk ke industri kreatif”, terangnya.
Sementara itu, Akhyari Hananto menyampaikan data World Economic Forum bahwa di tahun 2022 akan ada 75 juta pekerjaan yang hilang dan terganti oleh 135 juta pekerjaan baru. Oleh karena itu generasi muda perlu menyiapkan diri dengan era disruptif ini.
“Selalu ada tantangan dan ada pula kesempatan (opportunity), yang juga kita harus manfaatkan”, pungkasnya. (ano/yan)