Surabaya
Satria Tama, Kiper Timnas U-22, Sukses Juarai AFF
*Jadikan Semua Pertama, Ingin Jadi Abdi Negara
Memontum Surabaya—-Satria Tama. Lengkapnya, Satria Tama Hardiyanto. Dulu dia bukanlah siapa-siapa, dan tak dikenal banyak warga, apalagi se Indonesia Raya. Namun, setelah Tim Nasional (Timnas) U-22 menjuarai ASEAN Football Federation (AFF) 2019, baru-baru ini, membuat namanya melambung. Khalayak, terlebih pegila bola di Tanah Air pun menyematkan label punggawa ‘Garuda Muda’ kepadanya.
Disela jeda latihan, Satria Tama menyempatkan pulang ke Jawa Timur. Tepatnya, di Sepanjang Tani, Kabupaten Sidoarjo. Dia diizinkan pelatih Indra Sjafrie pulang untuk menerima apresiasi dari Gubernur Jawa Timur (Jatim), Khofifah Indra Parawansa. Disela waktunya saat pulang itu pula, Satria menyempatkan datang ke kampusnya, Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) Surabaya untuk mengisi Kartu Rencana Studi (KRS). Dia masuk Unitomo tahun 2015. Bungsu dari tiga bersaudara ini tercatat sebagai mahasiswa semester VI, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Jurusan Administrasi Negara pada kampus Kerakyatan dan Kebangsaan (sebutan untuk Unitomo) itu.
Satria yang lahir di Sidoarjo, 23 Januari 1997, banyak bercerita pada Memontum.com, mengenai kelanjutan karirnya di dunia persepak bolaan Tanah Air, dan deadline ‘merumput’ yang ditentukannya. Semua karena kesadarannya bahwa tidak selamanya dia akan di ‘bola’. Karena itu dia kuliah, dengan harapan kelak bisa mengabdikan diri ke negara, sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
“Soal pembagian waktu untuk bola, kuliah dan lainnya, Alhamdulillah saya bisa. Ayah saya sejak kecil membiasakan semua itu nomor satu. Sekolah nomor satu, ibadah nomor satu, bola nomor satu,” Satria mengawali perbincangan.
Ketika dia awal fokus ke bidang atletik, membuatnya banyak di lapangan dibanding sekolah. Kendati demikian dia tidak meninggalkan, apalagi melupakan kewajiban menempuh pendidikan. Karena konsisten membagi waktu sejak kecil, membuat Satria kini tak kesulitan antara bola dengan kuliah.
Terlebih kampus memberikan kemudahan dengan memberikan blanded learning yang memadukan perkuliahan tatap muka dengan jarak jauh melalui piranti dalam jaringan (daring). “Alhamdulillah saya bisa membagi waktu. Saya juga ingin sepenuhnya memanfaatkan kesempatan belajar atas beasiswa dari Unitomo,” sebut alumni SMAN 10 Surabaya ini.
Pada awal studi di lembaga pendidikan tinggi, terkadang Satria kuliah dulu dan sebaliknya. Bagi Satria, Bola olahraga yang bisa menjadi gantungan profesi yang tidak selamanya. Keasyikkan dia dapatkan sejak menekuni bola saat masih di bangku sekolah SMP Bhayangkari 1 Surabaya. Itu setelah dia sebelumnya bergabung dalam Sekolah Sepak Bola (SSB) Indonesia Muda (IM) di kawasan Pacar Keling, Kecamatan Tambaksari.
Pasang surut dunia bola sempat dia rasakan. Banyak SSB di Surabaya ‘lesu darah’, kompetisi internal tidak jalan dan jarang latihan. Ketika ada Akademi Widodo Cahyono Putro (WCP) di Kabupaten Gresik yang didirikan Widodo Cahyono Putro, mantan punggawa Persebaya, Satria mendaftar. Dia pindah dari IM ke WCP.
Sejak saat itu, karir bola ditapaki Satria. Dia akhirnya masuk ke Persegres Yunior, kemudian senior. Hingga akhirnya terbukalah jalur masuk Timnas, masuk dan hingga kini, Alhamdulillah. “Semoga prestasi Timnas ini terus berlanjut, menjadi kebanggaan dunia sepak bola nasional. Semoga ini menginspirasi bibit bibit pesepakbola nasional. Untuk adik adik terus semangat, terus berlatih, jangan takut bermimpi. Tidak usah dengarkan omongan orang lain yang bertanya mau apa, mau jadi apa di sepan bola. Harus fokus sama tujuan,” harap anak pasangan Bambang Hardiyanto dan Saning.
Satria hingga kini fokus ke Timnas U-22. Kendati demikian dia berharap kelak bisa bergabung ke Timnas senior. Satria mengaku kuliah karena di bola tidak seterusnya karena ada batasan umur. Kuncinya menjaga kondisi agar bisa main bola hingga tidak bisa main lagi.
“Tapi disisi itu, saya punya keinginan bisa menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Karena itu kuliah. PNS selalu saya kejar,” tutup Satria yang beralamat di Sepanjang Tani, RT 10/RW VI, Kelurahan Sepanjang, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Budiono selaku dosen wali Satria Tama ikut bangga dengan Satria. Budiono mengaku masih ingat betul ketika Satria awal masuk kuliah dengan cidera pada jari tangan. “Sejak Mas Satria masuk itu mahasiswa murni. Awal masuk yang masih saya ingat jarinya cidera. Untuk jadwal perkuliahannya, kita sesuaikan waktunya dia (Satria). Karena kendalanya pada waktu. Sama pak dekan FIA, ini dibahas. Jangan sampai nasib kuliah Satria sama dengan Evan Dimas yang sempat ganti Nomor Induk Mahasiswa (NIM),” kata Budiono.
Karena itu, kampus memberikan perlakuan khusus pada anak anak bola. Salah satunya, dengan e-learning atau kuliah jarak jauh. Bisa juga blanded learning. Jadi ada tugas yang diberikan melalui kuliah daring. “Intinya, kita memberi nilai tapi harus ada tugas, ada perkuliahan. Dan ini tidak menyalahi aturan. E-learning, blanded learning diperbolehkan secara aturan,” Budiono menambahkan. (ano/yan)