Bagir Manan: Pers Independen Wujudkan Pemilu Berkualitas

Alumni SMAK St. Albertus (Dempo) ini berpesan, agar awak media berhati-hati dalam Pemilu 2019 ini. Meski memiliki kebebasan pers, harus dipahami batas kebebasan pers itu Freedom From atau Freedom For. Semisal, kalaupun ada wartawan yang terjun ke politik atau timses, sesuai aturan harus cuti atau mundur.

“Selain itu, jangan gunakan media sosial untuk posting dan sumber literasi produk jurnalistik di saat suhu politik tinggi. Potensi hoax sangat tinggi. Lebih baik gunakan cara konvensional, turun investigasi langsung. Itu bisa terkena UU ITE. Link up produk jurnalistik, tapi komennya bisa kena UU ITE. Sebab medsos bukan media yang terverifikasi Dewan Pers,” terang Stanley.

Senada, Ketua IJTI, Yadi Hendriana, mengatakan, penanganan UU ITE masih sebatas pasal karet. Bahkan dalam penanganannya bisa terbalik. Kontradiksi dengan titik tekan Value dan Imparsial.

“Misalnya, kasus Andi Arief muncul karena foto dan opini. Padahal belum terbukti, hingga muncul berita dulu baru dikonfirmasi polisi tanpa bukti. Selain itu, kasus pembantaian jamaah masjid di Selandia Baru, meski bukti live ada. Namun berita berkualitas belum muncul karena pihak terkait belum memberikan klarifikasi. Namun, berbeda di Indonesia, belum ada klarifikasi dan verifikasi data dari pihak berwenang, sudah tayang dulu,” tandasnya.

Selain ketiga narasumber nasional tersebut, dosen FH Universitas Widyagama, Zulkarnain juga menyampaikan paparannya.

“Sebagai akademisi dan netizen, kita harus pandai dalam tracking jejak digital url. Karena kenyataannya, namanya sama, hanya extensionnya beda, seperti com, go.id, co.id, dan lainnya. Contohnya Tempo, itu banyak beredar media abal-abalnya. Sayangnya, masyarakat mudah sekali percaya dengan situs mirip media mainstream itu. Ini sebagai pembelajaran kita agar menggunakan logika dan jangan mudah percaya,” tutup Zulkarnain. (adn/yan)

Laman: 1 2