Surabaya

Baksos Kejati Jatim Diapresiasi Jakgung, Diwarnai Pengusiran Wartawan

Diterbitkan

-

Kasi Penkum Kejati Jatim, Richard Marpaung.

Memontum Surabaya—-Pelaksanaan kegiatan operasi katarak yang digelar Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Sabtu (24/3/2018), memang telah usai dan berlalu. Sayangnya, kemasan aksi bakti sosial (baksos) yang mendapat apresiasi Jaksa Agung (JA) HM Prasetyo itu, meninggalkan noda dan sedikit tercoreng oleh arogansi oknum Kejati Jatim yang melakukan pelarangan sepihak.

“Ya. Kami tidak diperkenankan melakukan peliputan. Kami diusir dari lokasi operasi katarak. Padahal, kepentingan kami hanya meliput dan memberitakan aksi terpuji itu,” aku Sri Rahayu, jurnalis dari media cetak Harian Pagi Memo X mengisahkan pengusiran pada Sabtu itu.

Dugaan pelarangan dengan pembatasan hingga pengusiran tersebut, sungguh mencederai baksos yang menjadi bagian dari kontribusi kejaksaan untuk masyarakat, selain tugas penegakan supremasi hukum. Penodaan baksos yang sukses meringankan 500 penderita katarak di Surabaya itu sangat bertolak belakang dari amanat Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Satu lagi rekan kami dari media cetak Panji Nasional juga diusir,” tutur Yayuk, sapaan akrab wartawan Memo X.

Advertisement

Praktis, akibat upaya tak bersahabat itu, kedua wartawan terpaksa mempertahankan haknya agar bisa melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya. Padahal acara sosial yang juga dilaksanakan korps Adhyaksa di sejumlah daerah di Indonesia itu dihadiri Jaksa Agung dan istri yang menjabat Ketua Umum Ikatan Adhyaksa Dharmakarini (IAD) Ros Ellyana Prasetyo.

“Ya. Kami tidak diperkenankan oleh Pak Richard (Richard Marpaung–red). Padahal, kami bermaksud meliput kegiatan operasi katarak,” aku Rohim dari Panji Nasional.

Menurutnya, pengusiran yang dilakukan Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Jatim, Richard Marpaung, sangat merendahkan martabat wartawan. Selain bisa merusak amanat UU 40/1990 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008, tentang Keterbukaan Informasi Publik, ulah Kasi Penkum Kejati Jatim yang tidak elegan itu bisa menodai kejaksaan yang sedang melaksanakan aksi sosial kepada masyarakat.

“Sebenarnya, dia tidak kasar menegur kami. Saat itu, kami sedang ada di tengah-tengah para pengunjung dan kalangan tamu undangan. Alasannya, kami tidak menggunakan keplek khusus yang disediakan kejaksaan. Kalau tidak menggunakan keplek, berarti kamu tidak diundang. Tidak diundang kok datang,” ujar Yayuk menirukan celotehan Richard.

Advertisement

Tak puas sampai disitu saja, Richard kembali mencecar pertanyaan kepada dua wartawan tersebut. Dengan lagak interogasi, Richard menanyakan, siapa yang mengundang dua wartawan datang ke acara baksos katarak.

“Yang memberitahu dan mengundang kami adalah Jaksa Usman. Silakan tanyakan sendiri ke Jaksa Usman. Benar atau tidak omongan saya,” ungkap Yayuk menjawab pertanyaan Richard.

Mendengar itu, Richard mencoba konfirmasi ke Jaksa Usman untuk mengonfrontir jawaban yang terlontar dari dua wartawan tersebut. Setelah mendapat penjelasan Jaksa Usman, Richard berlalu begitu saja dan tidak kembali meminta maaf karena telah melakukan pengusiran.

“Apa seperti itu perilaku seorang humas Kejati Jatim? Seharusnya, belajar dulu memahami UU Pers sebelum jadi humas, agar tidak tebang pilih wartawan. Meski masih bisa liputan, tapi saya tidak bisa menerima perilaku Richard yang telah merendahkan martabat wartawan,” hardik Yayuk.

Advertisement

Padahal, sebelum terjadinya pengusiran, kedua wartawan sudah berupaya secara prosedur untuk masuk ke kejaksaan. Keduanya juga berusaha menanyakan kartu penanda khusus yang disediakan kejaksaan untuk media peliput ke pos sekuriti.

“Satpam mengaku, semuanya (kartu penanda khusus/keplek–red) sudah dibawa wartawan. Kami diberitahu seorang wartawan lain, kepleknya dibawa ke kantin. Lha kok sampai di kantin, semua wartawan diam,” aku Yayuk menirukan ucapan seorang wartawan televisi nasional yang memberitahu keberadaan keplek khusus tersebut. “Akhirnya, kami mengenakan ID Card dari perusahaan masing masing,” sambung Rohim.

Namun, tak disangka dan tidak diduga, saat mereka meliput kegiatan operasi katarak dikagetkan kedatangan Richard. Kepada wartawan Memo X dan Panji Nasional, Richard mempertanyakan kartu penanda khusus sebagai akses masuk kejaksaan yang tidak dikenakan dua wartawan tersebut.

“Kok tidak menggunakan keplek khusus,” kata Yayuk menirukan ungkapan Kasi Penkum Kejati Jatim.

Advertisement

Sontak, teguran Richard ini mengagetkan dua wartawan media cetak tersebut. Merasa mendapat teguran yang tidak beralasan, mereka berusaha menjelaskan, bahwa telah menanyakan perihal kartu tanda khusus kepada sekuriti di pos penjagaan pintu masuk.

“Sebenarnya, ada juga wartawan tidak menggunakan keplek khusus, diperbolehkan meliput. Tapi, kok hanya kami berdua yang tidak boleh,” heran Yayuk.

Merasa diperlakukan berbeda, dua wartawan itu mencoba membela diri dengan argumentasinya. Kedua wartawan mengatakan, acara tersebut bukan pribadi, melainkan untuk umum dan berskala nasional.

“Kejaksaan itu rumah negara, bukan rumah pribadi. Keberadaan kami ini juga dilindungi undang-undang. Kok bisanya ada pelarangan dan pengusiran,” kata Yayuk.

Advertisement

Insiden pengusiran menunjukkan perlakuan Kasi Penkum yang notabene sebagai corong Kejati Jatim untuk publik, tidak patut diteladani. Seharusnya, Richard bisa lebih bijak untuk menjadi penengah tanpa harus membatasi/menghalangi ruang gerak wartawan.

“Apalagi mengusir tugas peliputan yang menjadi kewajiban dalam memenuhi informasi kepada masyarakat,” geram Yayuk. (nhs/nay)

Advertisement

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker

Refresh Page
Lewat ke baris perkakas