Hukum & Kriminal
Bos Sardo Swalayan Dilaporkan Mantan Istri ke Polda Jatim
Memontum Kota Malang – Bos Sardo Swalayan, Imron Rosyadi (63) warga Araya, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, beserta Drs Chori, kakaknya dan Fanani, adiknya, dilaporkan oleh Tatik Suwartiatun (57) warga Perum Griya Shanta, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Ketiganya dilaporkan ke Polda Jatim terkait dugaan Pasal 266 KUHP yakni dugaan melakukan tindak pidana memberikan keterangan palsu dalam akta autentik.
Perlu diketahui bahwa Tatik adalah mantan istri Imron Rosyadi yang bercerai pada Tahun 2009. Keduanya adalah perintis Sardo Swalayan di Jl Gajayana, Kecamatan Lowokwaru. Saat ini Sardo masih dalam objek sengketa terkait permasalahan ini.
Menurut keterangan Helly SH MH, kuasa hukum Tatik, saat bertemu Memontum.com pada Minggu (8/11/2020) sore, mengatakan bahwa Tatik menikah dengan Imron pada Tahun 1988 dan dikarunia 2 anak. “Pada Tahun 1995, mereka berdua membeli sebidang tanah kosong di Jl Gajayana seluas 261 meter persegi. Pada Tahun 2007 membangun satu lantai pada tanah itu. Pada Tahun 2000 mereka mendapat pinjaman dari Jatim Ventura hingga dibangunlah Sardo Swalayan di Gajayana No 500,” ujar Helly.
Usaha Sardo terus berkembang, Tatik dan Imron membeli tanah di belakang Sardo. “Selain membuka Sardo di Jl Gajayana, mereka juga membuka Sardo Swalayan di Pandaan, Pasuruan. Saat Sardo Swalayan berkembang pesat, pada Tahun 2009, klien kami dan suaminya bercerai. Klien kami berpikir bahwa aset yang diperoleh dari perkawinan akan diberikan kepada kedua anaknya. Saat itu klien kami tidak menggugat gono gini,” ujar Helly.
Kedua anaknya ikut bersama Tatik. “Berjalannya waktu mantan suami klien kami menunjukan gelagat kurang baik mengenai harta bersama itu. Maka Tahun 2018, klien kami mengajukan gugatan gono gini di Pengadilan Agama. Dalam prosesnya muncul gugatan intervensi dari Choiri dan Fanani, saudara mantan suami klien kami. Mereka mengakui bahwa Sardo Swalayan di Jl Gajayana dan Sardo Swalayan di Pandaan adalah usaha milik mereka. Mereka menyebut bahwa pendirian usaha Sardo adalah berasal dari penjualan tanah warisan orang tua mereka dengan membawa bukti putusan dari PN Bangil,” ujar Helly.
Merasa ada yang tidak beres, pihak Tatik kemudian melakukan pengecekan. “Putusan PN Bangil salah satu yang menjadi pertimbangan putusan adalah akte kesepakatan yang dibuat tahun 2016 antara Imron dan saudaranya yang dibuat di notaris di Karawang tanpa sepengetahuan klien kami. Tidak benar, bahwa Sardo dalah usaha Imron dan dua saudarnya. Tidak benar sebab sejak awal Sardo adalah usaha klien kami dan Imron, bukan usaha warisan,” ujar Helly.
Apalagi ditambah keterangan dua saksi yang merupakan kerabat dari Imron yang dijadikan bukti putusan PN Bangil. “Dua orang kerabat itu menjelaskan bahwa uang pembelian tanah Sardo yang pertama dari ibunya Imron. Mereka juga menyebutkan bahwa sejak awal ibunya menerima bagi hasil Sardo. Menurut klien kami itu semua tidak benar dan keterangan itu palsu. Karena Sardo Swalayan di Jl Gajayana didirikan Tahun 2000 dan Sardo Pandaan didirikan Tahun 2013. Sedangkan ibu dari mantan suami klien kami sudah meninggal Rahun 1996,” ujar Helly.
Dia juga menyebut ada kejanggalan dalam akte keterangan notaris. “Pakai notaris dimana saja memang tidak ada larangan. Namun menurut kami agak janggal karena notaris di Malang dan Pasuruan cukup banyak, namun mereka pakai Notaris di Karawang Jawa Barat. Sempat ditanya oleh ke 2 anaknya kenapa ayahnya sampai berbuat seperti itu. Padahal Sardo diketahui adalah usaha ayah dan ibunya. Namun saat itu tidak dijawab,” ujar Helly.
Karena ada keterangan yang diduga palsu, Tatik melapor ke Polda Jatim melaporkan Imron , Chori dan Fanani terkait Pasal 266 KUHP dan juga melaporkan Nafsiah dan Basori, atas dugaan pasal 242 KUHP, memberikan keterangan palsu di atas sumpah,” ujar Helly.
Sementara itu Tatik menjelaskan bahwa dirinya menempuh jalur hukum karena tidak ada itikat baik dari mantan suaminya. “Kami yang merintis usaha Sardo. Saya kulakan sampai naik truk, saya jalani kulakan di Jakarta bahkan juga import dari Cina. Kami rintis dan berjalan lancar. Namun 2009 kami pisah. Saat itu yang saya pikirkan harta yang ada untuk anak-anak,” ujar Tatik
Ada 18 bidang tanah dari hasil perkawinan keduanya. “Setelah anak anak besar dan menikah, saya berkeinginan untuk minta kejelasan mana harta mantan suami dan mana harta saya karena akan saya serahkan ke anak-anak. Ternyata responnya kurang baik hingga kami ajukan gugatan gono-gini. Muncul gugatan intervensi dari saudaranya. Saya kaget dan tidak mengira Sardo akan diakui sebagai usaha mantan suami dan keluarganya. Ini tidak benar. Kami punya data kebenarannya,” ujar Tatik. Untuk Sardo sendiri bernilai Rp 104 miliar.
Sementara itu saat dikonfirmasi Memontum.com, Imron mengatakan dalam Putusan PA No 1981/Pdt G/2018/PA MLG, gugatan Tatik ditolak. “Sedangkan Sardo Pandaan dan Sardo Malang berdasarkan putusan No 65/PDT G/2018/PN BIL, adalah bukan gono gini. Sedang gugatan Tatik di PA tersebut dinyatakan tidak dapat diterima dan putusan ini dikuatkan PTA Sby dan saat ini Tatik sedang kasasi belum memperoleh putusan dari MA,” ujar pihak Imron pesan WA.
Menurut pihak Imron bahwa cikal bakal Sardo dibeli oleh keluarga Imron dari hasil jual tanah dan toko mebel di Pasuruan milik Ibu Maryam. “Jadi berdasarkan pasal 35 (2) dan pasal 36 (2) UU No 1/1974 Tentang Perkawinan merupakan harta bawaan suami dan menjadi kewenangan suami sedangkan istri tidak berhak apapun. Kalau tentang laporan Polda, tentang sumpah palsu dan pemalsuan surat masih dalam penyelidikan. Ada atau tidak perbuatan tindak pidana. Sebab saksi Nafiah menerangkan sesuai fakta pembelian tanah yang kini dijadikan Sardo Malang. Sedangkan tentang keterangan dalam akta adalah sesuai fakta kepemilikan bersama,” ujar pihak Imron saat membalas konfirmasi Memontum.com. (gie)