Surabaya
BPK RI Teliti Disparitas Kenaikan Jumlah Anggaran APBN dan Angka Penurunan Kemiskinan
*Rektor UNAIR Sayangkan Audit Bersifat Administratif
Memontum Surabaya—-Ketua Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) Republik Indonesia (RI), Prof Harry Azzar Aziz dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Ekonomi di Universitas Airlangga Surabaya, Senin (26/11).
Usai melakukan seremonial pengukuhan bersama pejabat-pejabat negara dan dari kalangan akademisi, Prof Harry menyampaikan beberapa poin penting, terkait audit di dalam ranah BPK RI.
Ia memaparkan, ada tiga teori yang ia hubungkan dalam proses kinerja di BPK RI, yakni ada teori kesejahteraan, anggaran atau public policy dan auditing. Selama ini, baik yang dilakukan oleh BPK atau yang lain-lainnya, proses audit tersebut lebih menekankan kepada aspek kepatuhan.
Kepatuhan yang dimaksud lebih pada peraturan perundang-undangan. Namun sebenarnya, ada satu peraturan perundang-undangan yang dilupakan. Yaitu tanggung jawab kepada terciptanya dan terwujudnya masyarakat yang sejahtera.
“Itu yang saya dorong, salah satunya untuk memperbesar audit kinerja. Kan di BPK ada tiga jenis audit ada keuangan, tujuan tertentu dan kinerja. Ketiga ini yang harusnya diperkuat dari segi anggaran maupun dari personilnya,” katanya.
Untuk membuktikan, misalnya selama 19 tahun yang BPK meneliti, terjadi kenaikan anggaran sekitar 800 persen lebih, tapi angka kemiskinan turun cuma 45 persen. Jadi menurutnya masih harus ditingkatkan, baik rendahnya angka pengangguran dan indeks pembangunan manusianya.
“Jadi pertanyaannya, anggaran naik terus menerus, tapi indikator kesejahteraannya buruk. Jadi untuk siapa APBN itu?. 19 tahun BPK meneliti, APBN naik 800 persen lebih, tapi angka kemiskinan hanya turun 45 persen lebih. Itu menurut saya sangat tidak patut ditiru. Jadi itu fokus utama yang ingin ia kembangakan,” ujar Harry.
Harry mengatakan, dirinya tak menyalahkan kinerja pemerintah yang kurang optimal. Karena hal ini bisa disimpulkan oleh masyarakat sendiri yang menilai. Bahwa ternyata anggaran itu tidak tertuju pada kesejahteraan secara langsung. Karena selalu pemerintah selama ini beranggapan, bahwa pertumbuhan ekonomi pasti sejahtera.
“Mungkin yang tersejahterakan itu kelompok-kelompok tertentu saja, itulah yang dikenal dengan yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Benar memang pertumbuhan ekonomi tinggi, tapi yang kaya juga banyak yang miskin juga banyak,” papar alumnus UNAIR ini.
Dengan ditetapkannya empat indikator utama yaitu kemiskinan berkurang, pemgangguran berkurang, rasiogini berkurang dan indeks pembangunan manusia naik. Maka ia berharap, semoga konsen para pemimpin pusat maupun di daerah akan semakin baik.
Jadi nantinya ke depan, keberhasilan pemerintah bukan hanya ditunjukkan opini WTP saja, melainkan dari indiktor-indikator yang semakin meningkat. Menurutnya Ini salah satu cara BPK, untuk lebih menekankan kepada audit kinerja, namun pihaknya juga tak mengesampingkan auditing yang lain, seperti audit keuangan atau administratif.
Saat ini posisinya sekitar 50 persen audit keuangan, 30 persen audit tujuan tertentu dsn 20 persen audit kinerja.
“Harusnya kita balik itu, tapi juga tergantung karena anggaran BPK juga dari pemerintah. Karena usul UU BPK ini salah satunya untuk BPK agar bisa mengelolah anggarannya sendiri. Tapi itu masih dalam pembicaraan. Audit keuangan itu tetap, tapi porsi audit kinerjanya harus semakin dipertingkat,” tuturnya.
Harry mengaku, selama ini pihak BPK masih menekankan kepada aspek administratif. Ke depan pihak BPK sedang mengkaji akan fokus untuk melakukan kepada aspek kepatuhan.
Ia meyakini, bukan berati aspek tersebut tidak bagus. Tapi Harry berujar ada daerah yang berhasil mendapatkan WTP, tapi ditangkap KPK. Dirinya berdalih, itu merupakan sesuatu yang lain.
Karena menurunya, soal suap menyuap dan perizinan segala macam itu bukan dari uang negara, melainkan uang dari pihak ketiga.
“Di ujungnya nanti dan di akhir pemeriksaan, barulah nanti tahu dan terlihat penyelewengan dana tersebut. Jadi yang ia tekankan saat ini, aspek kepatuhan tetap ia jaga, tetapi adalah BPK Meneliti setiap angka dsn pundi rupiah-rupiah yang masuk di kas negara.
“Jadi kita bisa mengontrol, berapa angk kemiskinan bisa menurun, berapa angka pengangguran dan berapa angks indeks pembangunan manusia bisa naik,” tutupnya.
Sedangkan Rektor UNAIR Prof M Nasih beranggapan, hingga saat ini auditing berlangsung cukup baik. Namun Nasih menyayangkan, proses auding selama ini hanya berpaku pada proses audot administratif. “Jadi awal beliau punya gagasan, bagaimana mengkaitkan antara predikat pemeriksaan itu dengan kesejahteraan. Karena di lapangan kita melihat bahwa, daerah-daerah atau institusi yang mendapatkan WTP dari BPK itu belum temtu rakyatnya otomatis sejahtera,” urainya.
Sehingga ada gap antara kesejahteraan dan laporan keuangan. Hal ini kemudian menjadi suatu gagasan yang menarik untuk di dorong. Secara teoritis, auditing yang dilakukan BPK selama ini lebih fokus terhadap audit keuangan. Dimana teknik tersebut sudah kedaluarsa. Sementara lingkungan sudah sangat berubah teknologi sudsh sangat berubah dan transaksi pun sudah sangat jauh berubah.
Sehingga harus ada mekanisme konsep auditing yang kemudian benar-benar bisa mewakili kepentingan dan kebutuhan.
“Jadi kalau dulu audit itu dilakukan oleh pengelolah saham, untuk memastikan bahwa perusahaan dan investasi itu dapat mencapai tujuannya. Nah mestinya audit itu diminta oleh rakyat untuk kemudiaan meminta kepada BPK untuk diaudit dan mempertanyakan, apakah tujuan bernegara dan ber daerah itu sudah dicapai dengan keuangan yang seperti itu,” tutupnya.
Ditemui ditempat yang sama, Gubernur Jatim Soekarwo memgatakan, untuk apa dilakukan stimulus pembiayaan belanja negara jika anggaran yang dimiliki pemerintah daerah tidak cukup, terutama program bagi masyarakat miskin. Seperti halnya pembiayaan bidang pendidikan dan kesehatan harus di biayai dan masuk belanja wajib. Sementara, yang lain bisa dilakukan dengan stimulus.
“Kami setuju, dengan model manajemen pembiayaan untuk goverment spending, akan tetapi bentuknya harus dirinci dan di detailkan,” ungkapnya.
Dalam era reformasi, dijelaskan tentang prinsip-prinsip bernegara dengan baik. Saat ini, pengelolaan keuangan negara baru beberapa tahun mulai dikaitkan dengan kesejahteraan rakyat.
Ke depan, perhatian kepada hunungan pengelolaan keuangan negara dengan kesejahteraan rakyat haris dapat diukur dan diperiksa dengan baik.
“Pemeriksaan kepada keuangan negara harus dijadikan sebagai upaya untuk memperkuat dan mendorong setiap rupiah yang dapat menghasilkan setiap rupiah bagi kemakmuran rakyat yang sebesar besarnya,” pungkas Pakde Karwo. (sur/ano/yan)