Surabaya
Cacar Monyet, Pakar Unair: Jangan Terlalu Khawatir, Tetap Waspada
Memontum Surabaya – Beberapa waktu lalu, publik sempat dikejutkan dengan pemberitaan mengenai wabah cacar monyet (monkeypox) di Singapura. Kabar ini berhembus setelah seorang pria asal Nigeria dinyatakan positif terjangkit penyakit tersebut.
Merespon hal itu, otoritas setempat segera melarikannya ke ruang isolasi di National Centre for Infectious Desease (NCID) dan melakukan karantina guna mencegah penyebaran virus.
Beberapa foto penderita cacar monyet beredar luas di linimasa, sehingga cukup meresahkan sejumlah masyarakat Indonesia.
Mengingat letaknya yang berdekatan dengan negeri singa. Tetapi, pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan preventif berupa pemasangan detektor di pelabuhan dan bandara untuk mendeteksi suhu tubuh warga negara asing maupun lokal yang datang dari luar negeri, khususnya Singapura.
Mengenal Virus Cacar Monyet atau Monkeypox, Guru Besar Virologi dan Imunologi Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga, Prof. Dr. drh. Suwarno, Msi., turut angkat bicara. Ia menegaskan bila masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dan tetap waspada terhadap cacar monyet. Sebab, dinas kesehatan belum menemukan keberadaan inang dari virus tersebut di sini.
“Biasanya, penderita monkeypox dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu 14 sampai 21 hari. Tapi bisa berakibat fatal jika pasien mengalami infeksi sekunder atau komplikasi,” terang Prof. Soewarno saat ditemui di ruang kerjanya, Selass (28/5).
Dia menuturkan, bahwa persentase kasus fatal hanya sebesar satu hingga sepuluh persen. Dan, sebagian besar di antaranya terjadi pada kelompok usia dini yang berumur sembilan sampai lima belas tahun. Bahkan, pernah berdampak pada kematian anak-anak di Afrika.
Dunia medis mengklasifikasikan cacar monyet ke dalam kategori zoonosis atau penyakit yang menular dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Tetapi, mulai terdapat kecenderungan menular antar manusia. Termasuk baru ditemukan (new emerging desease), yakni pada tahun 1958 dan terlokalisir di Afrika sampai dengan sebelum 2003.
“Baru pada tahun 2003 meluas ke Amerika (47 kasus), tahun 2018 menuju Inggris (3 kasus) dan Israel (1 kasus), serta tahun 2019 di Singapura ini,” ujar penemu spray flu burung ini.
Virus monkeypox (MPV) merupakan anggota dari genus Orthopoxvirus dari famili Poxviridae. Mirip dengan variola (cacar manusia), vaccinia (virus anak sapi), cowpox (virus sapi dewasa) dan camelpox (virus unta). Ukurannya mencapai 140-260nm, dengan panjang 220-450nm, beramplop, sedikit pleomorfik, inti berbentuk halter dengan lateral tubuh, simetri kompleks dengan genom linier dan memiliki panjang genom 196.858bp.
“Sebelum cacar monyet, dunia dikejutkan oleh munculnya penyakit cacar pada manusia atau variola. Jika menginfeksi kulit, tingkatannya dalam dan akan meninggalkan bekas berupa bopeng. Tetapi sudah berhasil dibasmi sejak 1970-an. Jadi ada semacam hubungan tertutup juga antara keduanya,” jelas alumnus FKH UNAIR tahun 1987 itu.
Saat ini terdapat dua clade MPV, yang dikenal dengan istilah Congo Basin dan West African. Namun, secara patogenitas maupun gejala klinik serta epidemiologik terdapat perbedaan. Infeksi yang ditimbulkan oleh Congo Basin lebih parah dibanding West African. Juga bisa menimbulkan resiko kematian yang lebih tinggi pada penderitanya.