Kota Malang

Demi Anak, Tuangkan Perjuangan Kisah Anak Berkebutuhan Khusus dalam Film Joshua Tree

Diterbitkan

-

FOTO: Orang tua Joshua, dr Deibby Mamahit, sutradara film, George Arif dan beberapa orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, dalam kegiatan bedah film Joshua Tree. (memontum.com/rsy)

Memontum Kota Malang – Terlahir menjadi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, tidak membuat dr Deibby Mamahit, menyerah. Bahkan, dirinya terus memperjuangkan anak-anaknya untuk menjadi yang lebih baik. Kisah perjuangan itu, dituangkan dalam sebuah film dokumenter, yang berjudul ‘Joshua Tree’.

Film itu dibuat pada saat Pandemi Covid-19, dengan membutuhkan waktu pengerjaan selama dua tahun. Di dalamnya, menceritakan sang anak laki-laki remaja bernama Joshua dengan mengalami autisme berat dan lambat laun ada kemajuan di dalam dirinya.

“Dari awal saya menolak untuk mengambil persepsi bahwa autisme itu seumur hidup atau tidak bisa diperbaiki. Karena kalau misalnya kita bisa melakukan sesuatu, pasti ada perubahan. Saya yakin itu, karena anak saya yang pertama, Imanuel, itu juga ada spektrum autis dan sekarang bisa sembuh,” kata dr Deibby, saat ditemui pada acara bedah film Joshua Tree, di salah satu kafe yang berlokasi di Soekarno Hatta, Sabtu (20/01/2024) tadi.

Sebetulnya, dr Deibby juga pernah mengalami depresi dan kekecewaan selama satu setengah tahun, melihat perilaku anaknya. Namun, pada akhirnya dia memilih untuk berubah, yakni menjadi orang yang lebih bahagia.

Advertisement

“Jadi Joshua ini suka main kotorannya sendiri, lalu ada peristiwa dia gelantungan di luar balkon dan akhirnya bisa diselamatkan, itu saya sangat bersyukur sekali. Ternyata walaupun susah, saya lebih memilih dia ada dalam kehidupan saya. Karena saya yang mau dia, saya yang mau bahagia,” tuturnya.

Dari kisah itu, dr Deibby berpesan pada para orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus agar bisa lebih berbahagia lagi. Sebab, lingkungan juga akan mempengaruhi pada anak.

Baca juga :

“Karena kalau kita dengan keluarga yang berkebutuhan khusus kemudian kita di lingkungan yang penuh akan stress dan depresi. Anak-anak ini walaupun tidak bisa berkomunikasi, mereka berpotensi untuk menyalahkam diri mereka sendiri. Mereka akan menganggap bahwa mereka lah yang menyebabkan depresi itu terjadi,” ucapnya.

Sementara itu, Sutradara Film Joshua Tree, George Arif, menyampaikan jika isu difabel dengan spektrum autis ini harus banyak menjadi perhatian dan banyak penerimaan. Karena kalau bisa diterima, maka akan menjadi biasa dan tidak akan punya waktu untuk dihakimi.

Advertisement

“Karena difabel ini butuh support keluarganya. Makanya representasi Tree dalam judul film ini adalah keluarganya Joshua itu sendiri. Spesifiknya di situ. Itu yang ingin saya sampaikan secara simbolis. Kalau kita bisa menerima, kita tidak akan punya waktu untuk menghakimi. Kalau kita masih menghakimi, kita tidak bisa menerima,” ucapnya.

Dalam syuting yang dilakukan itu juga tanpa bertemu langsung. Sebab, dilakukan di tiga negara berbeda, yakni Indonesia, Singapura dan Amerika.

“Jadi ada beberapa adegan yang menggunakan zoom hanya saya arahkan (fokusnya) ke atas, bawah. Kemudian setting kamera di beberapa tempat, dan menggunakan HP, karena saya percaya bahwa kedekatan secara emosional antara ibu, anak, pengasuh yang ada di film itu bisa menghasilkan karya yang baik,” imbuhnya.

Sebagai informasi, film Joshua Tree tersebut juga telah mendapatkan beberapa nominasi, diantaranya di Film House Berlin, Official Selection di London Best Documentart Award dan Himachal Short Film Festival 2023. (rsy/sit)

Advertisement
Advertisement
Lewat ke baris perkakas