SEKITAR KITA
Era Modern, Gerabah Masih Tetap Berjuang Puluhan Tahun
Memontum Trenggalek – Meski perkembangan zaman mulai modern, seorang ibu rumah tangga di Kota Keripik Tempe tetap menekuni usaha sebagai pembuat gerabah. Sejak 1975 lalu, Sumiati warga Desa Tamanan, Kecamatan Trenggalek, menekuni usaha ini.
Di masanya, Desa Tamanan dikenal sebagai daerah pengrajin gerabah. Namun kini hanya menyisakan segelintir saja yang masih mau melanjutkan usaha tersebut.
Dengan memakai alat berupa batu dan tatap, Sumiati mulai membuat bagian tengah kuali atau lambung. Tangan kirinya menggenggam batu, tangan itu berada di sisi dalam kuali. Dan tangan kanan memegang alat tatap.
Tak..tak..nada yang ditimbulkan ketika alat itu dipukulkan tidak terlalu kuat pada bagian luar kuali.
Sedangkan kaki kiri Sumiati menyentuh perbot, sesekali kakinya mengangguk-angguk hingga menggerakkan alat putar itu. Alat itu memutar dengan kecepatan yang konsisten.
“Ini lagi membuat lambung, dibentuk agak melengkung,” terangnya.
Keahliannya membentuk gerabah itu dia pelajari sejak umurnya masih 17 tahun. Dahulu, Sumiati belajar membuat gerabah dengan Ibunya.
Dia belajar membuat kuali dengan tujuan untuk untuk mencari pundi-pundi rupiah, dengan menjual kuali-kuali tersebut.
Ada dua ukuran gerabah yang diproduksi Sumiati, yaitu sedang dan kecil. Dia menjual kuali yang ukuran sedang itu dengan harga Rp 7500, sedangkan ukuran kecil hanya Rp 3500. Padahal kuali itu kalau semakin kena panas maka semakin kuat, bahkan bisa sampai setahun lebih.
“Kuat hanya dalam artian khusus, karena kuali itu akan rusak ketika mengalami benturan keras bisa bertahan selama dua tahun bisa,” imbuhnya.
Dari masa ke masa, Sumiati merasakan ada perubahan tren yang drastis. Dulu Desa Tamanan sempat dikenal sebagai komoditas perajin gerabah, karena nyaris setiap inci orang-orang di desa itu memiliki pekerjaan serupa.
Namun mendekati tahun milenium baru pada abad 21-an, generasi lama pembuat gerabah signifikan menurun, karena usaha itu dinilai tak memberikan keuntungan yang cocok.
“Dulu sampai delapan pembeli yang beli ke saya, tapi sekarang tinggal satu,” ujarnya.
Menurut nenek dengan enam cucu itu, usaha gerabah semakin punah karena orang tidak lagi membutuhkan kuali seperti dulu.
Gerabah dulu adalah alat pokok untuk memasak makanan, namun kini sudah alat pemanas nasi, wajan dengan bahan lain, dan panci untuk merebus.
Orang memasak pun kini tidak ada lagi yang menggunakan kompor tungku, tapi pakai kompor gas.
“Sekarang konsumennya terbatas, bukan buat masak sayur, tapi untuk membuat jamu,” ujarnya.
Di tengah usia yang semakin lanjut itu, Sumiati mengaku akan tetap meneruskan usaha dari warisan orang tuannya, biarpun ketiga anaknya tidak ada yang ikut meneruskan usahanya.
Dia meneruskan usaha itu karena tidak memiliki keahlian lain untuk mendapatkan penghasilan.
“Saya hanya bisa kerja begini, tida punya keahlian lain,” katanya.
Di sebuah teras rumah nenek yang berusia 62 tahun terlihat beberapa kuali di jemur di bawah terik matahari.
Ukuran kuali-kuali itu disebutnya dengan ukuran sedang, karena kalau besar bisa sampai berukuran melebihi 30 cm.
Dia mengaku tidak memproduksi gerabah dalam ukuran besar, karena mengingat kulit dan tulangnya semakin melekat. Sehingga tenaganya pun jadi lebih terbatas. (mil/oso)