Surabaya
Jurnalis Ibu Pertiwi Serentak Tuntut Jokowi Cabut Remisi Susrama
Memontum Surabaya—-Kasus pembunuhan wartawan Radar Bali, Anak Agung (A. A) Ngurah Bagus Mahendra Prabangsa pada (11/2/2009) yang dilakukan oleh I Nyoman Susrama, karena mengungkap kasus dugaan korupsi yang dilakukan Susrama yang berbuntut menewaskan satu pewarta dan dihanyutkan dalam laut. Hukuman yang semestinya seumur hidup, pemerintah malah memberikan remisi 20 tahun.
Namun, keputusan Presiden Joko Widodo yang memberikan remisi perubahan hukuman kini berujung penolakan dan kecaman. Mulai dari jurnalis, aktivis, akademis dan berbagai stakeholder lainnya mengutarakannya melalui aksi di berbagai kota di Ibu Pertiwi, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Bali, Aceh, Jakarta, Padang Ternate, Makassar dan lainnya.
Di Kota Surabaya, tepatnya di Taman Apsari dan di depan Gedung Grahadi Surabaya, aksi dilakukan oleh puluhan orang dari AJI Surabaya dan Pusat Studi HAM Universitas Airlangga (UNAIR). Miftha Faridl, Ketua AJI Surabaya menegaskan jika AJI merupakan satu dari sekian organisasi yang melakukan advokasi, bahkan sudah sangat kuat dan ‘getol’ untuk mengungkap kasus ini.
“Karena kita bagian dari tim advokasi dan kita bagian dari jurnalisme itu, maka hari ini kita melakukan aksi serentak di semua kota yg ada AJInya. Aksi serentak ini sebagai dorongan kepada pemerintah, bahwa apa yang dilakukan pemerintah dalam mengeluarkan remisi adalah suatu penghinaan bagi kita, dan juga penghianatan bagi kebebasan pers,” kata Miftha dengan tegas setelah melakukan aksi pada Jumat (25/1/2019).
Keputusan Presiden (Keppres) No 29/2018 tanggal 7 Desember 2018 tentang pemberian remisi berupa perubahan dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, adalah putusan yang membakar amarah jurnalis di Indonesia. Dan demo yang dilakukan serentak di berbagai kota yang meminta agar remisi dicabut, juga petisi yang akan dilayangkan.
“Yang jelas remisi ini harus dicabut. Kita akan galang petisi. Dan harapan kita, petisi itu bukan hanya untuk kalangan jurnalis tapi juga untuk masyarakat umum. Karena pembunuhan terhadap jurnalis, pembunuhan terhadap Prabangsa itu mengancam hak publik untuk tahu terhadap apa yang sudah diungkap oleh Prabangsa,” ujarnya.
Dengan adanya remisi yang dilayangkan oleh pemerintah, Miftha menganggap bahwa hal ini seperti intimidasi bagi para jurnalis. “Kalau mengungkap kasus-kasus serupa, nyawa kita bisa hilang, nyawa kita bisa terancam. Ini kebijakan intimidasi kalau bagi AJI,” jelasnya.
Sementara itu, Herlambang P Wirataman mahasiswa dari Pusat Studi HAM Fakultas Hukum Unair yang juga turut dalam aksi mengatakan, jika remisi tersebut sudah melukai keluarga Prabangsa dan orang-orang yang telah memperjuangkan kasus ini sampai tuntas dalam hukum. “Pada saat Prabangsa dibunuh itu kasusnya panjang dan berliku-liku. Mudah-mudahan kehadiran Pusat Studi Hukum Unair memberi dukungan terhadap perjuangan jurnalis. Apa yang dialami jurnalis juga dialami oleh akademis,” tutupnya. (est/ano/yan)