Kabar Desa
Wujud Syukur dengan Air yang Melimpah, Empat Desa di Tulungagung Gelar Tradisi Ulur-ulur
Memontum Tulungagung – Tradisi Ulur-ulur kembali digelar dengan meriah setelah selama masa pandemi atau dua tahun terakhir, hanya terbatas. Tradisi yang telah turun-temurun selama ratusan tahun silam itu, sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan atas limpahan rezeki berupa air yang mengaliri hingga empat desa.
Bupati Tulungagung, Maryoto Birowo, mengungkapkan bahwa upacara tradisi Ulur-ulur adalah sebuah historikal. Dimana ini sebagai wujud rasa syukur kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Kuasa.
“Selama ini, Tuhan telah memberikan satu kenikmatan bagi warga berupa sumber air. Cara mensyukurinya, yaitu dengan melaksanakan budaya Ulur-ulur,” ungkap Bupati Maryoto Birowo, Jumat (24/06/2022) tadi.
Bupati kelahiran Tulungagung Agustus 1953 ini mengaku, pelaksanaan kali ini berbeda pada waktu pandemi. Sekarang, sudah digelar meriah sehingga antusias masyarakat atau pengunjung cukup menarik perhatian.
Dirinya menambahkan, budaya Ulur-ulur tidak bertentangan dengan agama Islam. Sebab, Tuhan menyuruh untuk terus bersyukur, barang siapa yang bersyukur akan ditambah serta yang mengingkari berarti mengkufuri nikmat.
“Sama klop dengan agama Islam. Harus dilestarikan supaya tidak terlupakan,” ujarnya.
Bupati Maryoto menambahkan, kegiatan ini bukan hanya acara seremonial belaka. Namun, semua merasakan kebersamaan antar warga serta menjadi perekat NKRI.
“Makanya, diadakan acara upacara adat kitab budaya ini mengingatkan memberikan pembelajaran budaya,” bebernya.
Bupati Maryoto berharap, dengan adanya Ulur-ulur, warga masyarakat generasi muda mengerti sejarah perjuangan yang dilaksanakan oleh pendahulu. Selain itu, bisa menjadi agenda rutin yang akan terus lestari.
Baca juga :
“Ini mau tidak mau sudah masuk event budaya dan pernah kita lombakan juara 1 tingkat provinsi,” terangnya.
Camat Campurdarat, Heru Junianto, menambahkan bahwa Ulur-ulur yang ada di Desa Sawo dan Ngentrong adalah dari wujud pelestarian budaya dan kearifan budaya. Kegiatan ini dalam rangka untuk melestarikan lingkungan dan lingkungan.
“Karena di telaga ini (Ngembel dan Buret) adalah sumber air yang memberikan manfaat,” ujar Heru Junianto.
Dengan adanya sumber air, Heru menuturkan bahwa pertanian di tempat desa dapat dilaksanakan dengan hasil melimpah. Sehingga dalam rangka bersyukur kepada Tuhan atas limpahan karunia dan rezeki.
“Ini salah satu upaya pelestarian lingkungan dan budaya, juga menjalin kesatuan dan persatuan NKRI,” paparnya.
Dirinya mengatakan, selama ini sumber air yang melimpah, mampu menghidupi kebutuhan air banyak warga. Ditambah lagi, dalam bercocok tanam padi tidak pernah mengalami kekurangan air.
“Alhamdulillah, tidak ada kekeringan di persawahan dengan adanya dua telaga,” paparnya.
Penyelenggara Ulur-ulur, Karsi Nero, menuturkan tradisi Ulur-ulur terselenggara sebagai bentuk syukur kepada Tuhan, atas limpahan air yang diberikan di Telaga Buret. Bahkan, air yang keluar dari telaga tersebut mampu menghidupi masyarakat dari empat desa, yakni Desa Ngentrong, Gamping, Gedangan serta Desa Sawo.
Karsi Nero mengungkapkan, air Telaga Buret ini bisa mengairi sawah di sekitar kurang lebih seluas 700 hektare. Sehingga, dalam setiap tahun bisa melakukan panen sebanyak tiga kali dan belum lagi diperuntukkan kehidupan sehari-hari. (jaz/sit)