Gaya Hidup
Pemilu, Ajang Perburuan Legitimasi Kekuasaan Rakyat dan Penguasa
Setiap pemerintahan yang menjadi penguasa negara, pasti mengatasnamakan kepentingan mayoritas. Wajar saja, karena berdasarkan pilihan langsung, paslon kepala daerah dan calon presiden yang memperoleh suara terbanyak, merekalah yang ditetapkan KPU sebagai paslon terpilih. Termasuk anggota dewan, adalah calon legislatif yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu.
Maka perolehan suara dalam pilkada, pemilu dan pilpres, menjadi pekerjaan wajib bagi paslon, caleg dan capres. Strategi diatur sedemikian rupa oleh mereka agar bisa mendulang suara terbanyak. Penguatan loyalitas kader dan konstituen menjadi wajib. Segala manuver dilakukan, karena one man one vote. Ini yang menjadikan suara rakyat suara tuhan, dalam sistem demokrasi.
Karena itu, sebuah keharusan bagi parpol memiliki bagian pemenangan pemilu. Demikian juga paslonkada dan capres dalam tim kampanye-nya, harus memiliki tim pemenangan yang kuat. Tim pemenangan ini, harus mampu merebut hati rakyat. Karena satu-satunya cara melegitimasi kekuasaan adalah dengan cara mendapatkan suara rakyat melalui pemilu, pilpres dan pilkada.
Pada bagian inilah sesungguhnya roh demokrasi. Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Rakyat harus menyadari jika saat pemilihan itulah mereka berkuasa. Rakyat berkuasa menentukan siapa pemimpinnya. Pilihan rakyat dalam bilik suara, menentukan masa depan pembangunan daerah dan negara. Maka rakyat harus menggunakan hak suara mereka dengan nurani, logika dan kedewasaan politik.
Pada saat saya menulis ini, di kota/kabupaten yang tidak menyelenggarakan pilkada, sedang berlangsung tahapan mutarlih (pemutakhiran data pemilih) pileg dan pilpres. Sementara yang menyelenggarakan pilkada, bulan Juni sebelum pemilihan, DPT nya akan ditetapkan sebagai DPS pileg dan pilpres. Pada proses ini jajaran KPU akan bekerja keras.