Berita
Curhat Mantan Pasien Corona Kota Pasuruan
Memontum Pasuruan – Pasien yang dinyatakan sembuh dari Covid-19 angkat bicara soal penanganan tim gugus tugas Covid-19 Kota Pasuruan yang dinilai tidak terbuka soal hasil rapid tes dan swab.
Bukan hanya itu, penanganan sewaktu isolasi mandiri yang tidak jelas standarnya dan tidak ada penanganan pasca sembuh termasuk publikasi kesembuhan pasien.
Inilah curahan hati seorang korban corona dari Kelurahan Karanganyar. Ayu, ayah dan ibunya pernah divonis positif corona di pertengahan bulan Ramadan lalu.
Ayu, panggilan keseharian Ayu Novelis bersama ibu dan ayahnya merasa dijadikan kambing hitam dengan ditetapkan positif corona di awal bulan Ramadan lalu tanggal 20 Mei 2020.
Dia tidak diberi dokumen hasil tes swabnya dari rumah sakit atau laboratorium yang memeriksa swabnya. Dia hanya diberi tahu secara lisan oleh petugas yang katanya positif corona. Padahal dia dan ayahnya dalam kondisi tidak ada gejala Covid-19.
“Saya merasa dibohongi karena tidak ada bukti otentik hasil uji swab hingga saya dinyatakan positif korona. Saya dirapid dan diswab karena saya dan ayah sedang menunggu ibu yang sedang sakit. Tapi yang menjadi tanda tanya, dokumen hasil swab dari lab tidak pernah ditunjukan kepada saya, “kata Ayu, di rumahnya, Minggu (21/06/2020) siang.
Ayu menuturkan curahan batinnya itu akibat beban berat yang ditanggungnya karena cap yang disandangnya sebagai orang yang terjangkit korona menjadi stigma buruk di masyarakat. Walaupun dirinya sudah dinyatakan sembuh dibuktikan dengan selembar kertas yang ditulis tim gugus tugas Covid-19, cap itu seolah tidak mau terhapus dari namanya dan keluarganya.
“Saya sekeluarga terpenjara sosial, Tetangga, teman bahkan saudara tidak satupun yang mendekat pada saya sekeluarga. Bukan mereka benci, tapi tidak tahu dan tidak yakin kalau saya sekeluarga sudah sembuh dari corona. Sebab, tidak pernah ada pengumuman atau berita yang memberitakan kesembuhan kami, ” tuturnya.
Ketika ibundanya berpulang ke Rahmatullah tanggal 3 Juni 2020. Di hari yang sama dia dinyatakan negatif corona. Tetangga sekitar seolah takut melayat jenazah ibunya. Ayu berupaya meyakinkan warga dengan menunjukan surat keterangan negatif corona dari tim gugus tugas.
Sampai-sampai surat keterangan sembuh tersebut oleh ayahnya ditempelkan di sebuah pohon depan rumahnya. Barulah satu persatu warga datang untuk ngurusi jenazah hingga ke pemakaman.
“Tidak hanya saat ibu meninggal dunia, ketika saya mendaftarkan anak saya ke sekolah TK, saya merasakan stigma buruk seorang korban corona masih menjadi momok di masyarakat. Ketika tahu saya warga Kelurahan Karangannyar yang pernah terjangkit corona, anak saya tidak diterima di sekolah TK itu. Untungnya sekolahTK lainnya mau menerima anak saya, “jlentreh Ayu.
Sebetulnya, derita terpenjara sosial yang dialaminya pasca dinyatakan sembuh, hanya sebagian dari perjalanan deritanya. Bagian lain yang tidak kalah pedih ketika menjalani isolasi mandiri.
Dia sekeluarga ayah, ibu, nenek dan ketiga anaknya yang masih balita harus pisah dari warga sekitar, teman dan saudaranya selama 14 hari. Janji pemerintah pusat yang akan membantu korban Covid-19 mulai dari biaya rumah sakit hingga kebutuhannya, sudah ramai tayang di televisi. Berita itu menyejukkan pikirannya.
Akan tetapi, faktanya sangat berbeda. Ayu sekeluarga setiap hari hanya mendapat jatah nasi kotak sebanyak jumlah keluarganya selama 14 hari dan obat. Namun, 3 anak balitanya yang masih butuh susu dan pampers tidak bisa dipenuhinya.
Belum lagi ibunya yang sakitnya semakin parah juga membutuhkan pampers dan kebutuhan lainnya. Ayu tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa menangisi kondisi anak dan ibunya.
Dia sebagai penopang ekonomi keluarga tidak bisa lagi bekerja akibat isolasi tersebut. Tabungannya habis untuk biaya pengobatan ibundanya. Penderitanya semakin lengkap ketika dia pun luput dari program bantuan sosial dan ekonomi dampak corona dari pemerintah.
“Menyandang cap orang yang yang pernah terjangkit corona lebih berat ketimbang cap seorang teroris, ” pungkasnya.
Di sisi lain, juru bicara tim gugus tugas percepatan penanganan Covid-19 dr. Shierly Marlena mengatakan, bagi orang positif corona tanpa gejala, hasil pemeriksaan diberikan sambil edukasi isolasi mandiri. Bagi yang menjalani perawatan di rumah sakit , hasil pemeriksaan tidak diberikan menunggu pasien sembuh.
“Hasil pemeriksaan baik positif maupun sembuh pasti diberikan ke pasien, “kata Shierly di kantornya, Selasa (16/06/2020) sore.
Lebih lanjut Shierly menerangkan, untuk standart penanganan isolasi mandiri artinya mandiri dari keluarga tersebut. Pemerintah memberikan bantuan logistik makanan pokok. Jadi tidak ada perbedaan standar.
“Memang sering salah kaprah. Bantuan kebutuhan pokok, diberikan bagi keluarga yang tidak bisa bekerja karena menjalani masa isolasi mandiri, ” terangnya.
Untuk pasien positif Corona yang memiliki tiga balita lanjut Shierly, direkomendasikan menjalani isolasi mandiri di rumah. Dengan pertimbangan, kalau diisolasi dirumah sakit, tidak ada yang merawat balitanya.
“Hal itu saya konsultasikan ke dokter anak, dan boleh isolasi mandiri di rumah dengan pakai masker dan jaga jarak, ” jelasnya.
Begitu pasien sembuh, surat keterangan sembuh sudah langsung diberikan ke pasien tersebut. Dan tim gugus tugas di kelurahan juga tahu. Artinya masyarakat di sekitar juga tahu.
Penanganan pasca sembuh itu isolasinya lebih longgar untuk menjaga tidak menular ke yang lain juga untuk menjaga daya tahan tubuh si pasien agar tidak terinfeksi kembali.
“Rilis pasien sembuh selalu dirilis tim gugus tugas, tapi tidak boleh menyebut nama dan alamat, SOP nya seperti itu, ” tutup Shierly ( bw/arf/oso)