Surabaya
Dewan Pers Minta Media Kembali ke Kode Etik
Memontum Surabaya—Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetio memberikan tanggapan terkait pemberitaan di media massa tentang kasus prostitusi online. Pria yang akrab disapa Yosep ini beranggapan jika pemeberitaan di laman media massa tersebut over ekspose dan unlike pose.
“Terkait ekspos di media online maupun media sosial ini yang jadi korban yaitu artis-artisnya. Bahkan anggota keluarga yang tidak ada sangkut pautnya menjadi korban,” ungkapnya, ketika dikonfirmasi usai mengisi acara Menyongsong Pesta Demokrasi dan Bermartabat, yang diselenggaraka Fakultas Ilmu Sosial Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Selasa (15/1/2019).
“Hentikan itu kembali kepada kode etik jurnalistik. Orang yang belum dinyatakan bersalah dipengadilan, wajib wajahnya dilindungi diblur dan namanya diinisialkan,” tegasnya.
Yosep pun mengkritisi, jika hal tersebut menunjukan bahwa struktur jurnalistik di Indonesia masih didominasi dengan nilai-nilai patriarkal. Karena ia menilai selama pemberitaan beredar, media tidak dan belum berpihak kepada perempuan
Maka dari itu pihak Dewan Pers mendorong dan sudah terjadi diskusi-diskusi temtang jurnalisme yang lebih ramah terhadap perempuan. Dewan Pers mempunyai keiingan untuk menyusun sebuah pedoman meliput hal-hal yang terkait dengan perempuan, terutama korban maupun pelaku kejahatan.
“Kita sedang medorong itu bersama dengan komnas perempuan,” katanya.
Yosep mengimbau kepada awak media yang memberitakan secara over ekspose. Bahkan ia berpesan untuk menghentikan pemberitaan perundungan terhadap korban.
Karena menurutnya, pelaku yang disebut sebagai artis itu adalah korban dari sebuah jaringan prostitusi. Dan kemudian para artis itu berhungan dengan mucikari dan mencari perempuan-perempuan yang menjual tubuhnya untuk dinikmati oleh para pelanggan itu.
“Hentikan ini, lebih baik arahkan ini kepada upaya polisi untuk mengungkap para pelaku dan jaringannya. Jadi kita tahu bahwa, yang diungkap ini adalah perempuan dan artisnya yang dianggap menjadi bagian dari bisnis seks,” tegas Yosep.
Selain mengkrititis peran media, ia juga berpendapat masyarakat Indonesia sebetulnya butuh media literasi. Dengan harapan agar media sosial (medsos) dipenuhi dengan konten dan hal-hal positif.
Ia menilai jika selama ini masih banyak akun-akun palsu yang dengan mudah memfitnah kubu yang tak mereka sukai. “Menurut saya literasi itu belum sampai ke masyarakat sekitar secara merata,” terangnya.
“Jangan menggunakan medsos, saya juga mengkritik pejabat-pejabat yang sering kali menggunakan medsos dan kemudian mengurangi intensitasnya berkomunikasi dengan wartawan,” cetus Yosep.
Seharusnya, masih Yosep, instansi-instansi para pejabat itu tetap berkomunikasi dengan wartawan. Karena sebetulnya medsos adalah dunia sendiri yang belum punya pengawasnya. Bahkan hanya berpegangan pada UU ITE dan penegak hukumnya itu Polri.
“Kalau literasi itu rendah, dan tidak tahu menggunakan medsos itu untuk kemaslakatan banyak orang. Dan kemudian untuk digunakan hal-hal yang negatif maka mereka akan menjadi korban.”
Kendati demikian, ia menyaran kepada awak media, harus memperkut nilai jurnalismenya serta wartawan-wartawanya didorong untuk menjadi yang profesional.
Menurutnya boleh saja mediantak santun dalam memberitakan sebuah informasi yang ia dapat. Karena ia beralasan santun itu cuma tampilan, dan yang lebih penting adalah media menampilkan fakta. Karena tugas media adalah menyampikan informasi yang paling mendekati fakta apa adanya.
“Bahasa boleh keras tapi kritik boleh tidak santun, tetapi esesnsinya harus faktual. Dari catatan kami ada beberapa media yang memberitakan berita tidak fakta, terutama adalah online, kedua cetak, televisi,” tutupnya. (sur/ano/yan)