Pemerintahan
DKL dan Disparbud Lamongan Gelar Workshop Tradisi Lisan dan Sastra Kentrung
Memontum Lamongan – Kabupaten Lamongan memang dikenal kaya akan seni tradisi. Salah satunya adalah kesenian kentrung yang juga memiliki ciri khas tersendiri. Kentrung di Lamongan menggunakan rebana sebagai ciri khas peristiwa dan tokoh dikendalikan oleh seorang dalang.
Sayangnya, seni kentrung yang hidup di daerah utara Lamongan ini hampir punah seiring meninggalnya H. Ahmad Kusairi atau yang biasa disapa Mbah Kusyairi, dalang kentrung dari Desa/Kecamatan Solokuro.
Untuk menjaga dan merawat warisan seni dan budaya itu, Dewan Kesenian Lamongan (DKL) dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Lamongan, dengan menggelar Workshop dengan tema “Tradisi Lisan dan Sastra Kentrung”
“Workshop ini adalah salah satu upaya untuk mengangkat kembali Kentrung ke permukaan,” tutur Mifta Alamuddin, Kabid Kebudayaan Disparbud Lamongan, Minggu (8/3/2020).
Disparbud meyakini, workshop dan memberikan kesempatan anak Mbah Kusairi, Yazid, untuk tampil ke publik ke untuk pertama kalinya ini menjadi formula untuk kembali membangkitkan Kentrung agar bisa tetap eksis dan diterima oleh kaum milenial.
“Kami mencari formula yang pas agar Kentrung bisa kembali eksis,” katanya dalam momen tribute to Mbah Kusairi yang bertema “Membumikan Kentrung sebagai Warisan Budaya”.
Untuk diketahui, Kentrung yang merupakan kesenian teater tradisional asli Lamongan, yang asal istilah penamaan Kentrung, diambil dari suara musiknya yang berbunyi “tung, tung, tung’ ini.
Kentrung juga bisa diartikan “ngreken perkoro isane jluntrung”, yang penyampaiannya dengan cara bercerita (bertutur) dengan bahasa Jawa.
Selama pertunjukan, Kentrung terkadang dimainkan oleh satu orang pemain, sekaligus berperan sebagai Dalang Kentrung yang bertugas memainkan alat musik dan menuturkan cerita.
Ini biasanya disebut Kentrung ontang-anting. Namun, ada pula yang beranggotakan 10 pemain saat tampil, dengan satu orang berperan sebagai dalang, dua sinden, satu pembaca mocopat dan enam pemusik.
Cerita-cerita dalam penyajian Kentrung biasanya seperti cerita Sunan Drajat, Panji Laras-Liris, Syekh Subakir dan cerita Wali Songo. Namun juga bisa menyesuaikan dengan tema yang diminta penanggap dengan diiringi instrumen musik Kentrung menggunakan rebana.
Penggunaan dua rebana (rebana berukuran besar dan rebana berukuran kecil) yang selalu dimainkan dalam Kentrung, dan pakaian dalang yang menggunakan jubah dan sorban, menjadi ciri khas Kentrung Lamongan.
Upaya pelestarian seni kentrung ini terus dilakukan. Selain rebana, ciri lain yang ada di kentrung Lamongan adalah pakaian sang dalang yang menggunakan jubah dan juga cerita yang disampaikan.
“Kentrung memang banyak dan berbeda tiap daerah. Di Lamongan, kentrung bernuansa islami baik dari kostum yang memakai jubah dan sorban, maupun dari segi cerita yang biasanya berasal dari kisah Sunan Drajat, Sunan Giri dan Sunan Kalijaga yang kemudian di tengah-tengah ditambahkan tentang cerita-cerita lokal dan juga cerita riwayat para nabi,” kata Yazid, anak Mbah Kusairi yang kini meneruskan profesi ayahnya.
Selain itu, Yazid mengungkapkan, kentrung dari Lamongan mengandung 3 hal. Budaya, dakwah dan sejarah yang disampaikan ke penonton. Kentrung Lamongan, kata Yazid, biasanya dimainkan saat ada hajatan seperti pernikahan, sunatan atau juga ketika tingkepan.
“Kentrung ini biasanya juga ditampilkan saat sedekah bumi, haul sunan-sunan, peringatan lahirnya suatu daerah atau desa,” tuturnya.
Sementara, pemerhati budaya Rodli TL menambahkan, kentrung adalah satu di antara kemasan sastra lisan yang dimainkan seorang dalang tanpa wayang, sekaligus menjadi panjak (penabuh alat musik, red) yang membawakan cerita yang kebanyakan tentang juru dakwah kebaikan dan tantangannya.
Sayangnya, kata Rodli, perkembangan kentrung semakin ditinggalkan generasinya saat satu-satunya dalang yang ada di Lamongan meninggal dan tidak punya penerus.
“Kentrung sampai sekarang diyakini memiliki spirit yang cukup tinggi untuk merekatkan antar masyarakat dan mendekatkan pada Tuhan,” tandasnya.
Sementara, Dosen Jurusan Sendratasik Unesa Welly Suryandoko mengatakan, kentrung Lamongan adalah salah satu seni teater tradisional yang bisa digolongkan dalam kentrung ontang anting karena hanya terdapat satu pemain saja dalam pertunjukannya. Aksi dalang dalam memukul rebana, menurut Welly, adalah bagian dari akting yang memberikan peran sebagai suspend dalam cerita.
“Dalang yang bercerita tidak melakukan gerakan seperti menari ataupun berdiri sebagai bagian dari pertunjukan, melainkan hanya duduk di tempat dan menuturkan ceritannya,” jelas Welly.
Disparbud Lamongan pun berusaha mencari formula untuk membangkitkan kentrung agar bisa tetap eksis dan diterima oleh kaum milenial.
Kabid Kebudayaan Disbudpar Lamongan, Mifta Alamuddin menuturkan, sepeninggal Mbah Kusairi kentrung Lamongan seakan tenggelam dan sang anak pun baru kali ini tampil ke publik.
“Workshop ini adalah salah satu upaya untuk mengangkat kembali kentrung ke permukaan dan mencari formula yang pas agar kentrung bisa kembali eksis,” jelas Udin. (Fjr/zen/yan)