Surabaya
DPRD Jatim Kecam Pemerintah Terkait 300 Mahasiswa Kerja Paksa
*Menristek Dikti: Itu Hoax!
Memontum Surabaya—Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur (Jatim) lewat anggota Komisi E Agus Dono Wibawanto mengingatkan kepada Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, agar tak lagi mengirim mahasiswa magang ke mancanegara.Hal itu dikatakan karena ia menilik beredarnya kabar 300 mahasiswa magang asal Indonesia menjadi tenaga kerja paksa di Taiwan. Namun Agus Dono mengapresiasi kebijakanan pemerintah tersebut.
Tetapi alangkah baiknya, ia minta pemerintah harus memberi jaminan bahwa mahasiswa tersebut benar-benar bertujuan untuk menyerap ilmu, bukan menjadi tenaga kerja paksa.
“Saya mengapresiasi langkah Pemerintah Indonesia mengirim mahasiswa magang ke luar negeri karena dapat menambah kualitas dari mahasiswa. Namun kalau untuk kerja paksa, saya rasa itu tak manusiawi,” tegasnya, Minggu (6/1).
Dirinya khawatir, dari beberapa mahasiswa magang yang ada di Taiwan itu, ada yang berasal dari Jatim. Maka Agus Dono mengintruksikan, jika dugaannya itu ada, dinas terkait harus pro aktif dan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait dan berkoordinasi dengan pemerintah untuk melakukan pengecekkan.
Politisi Partai Demokrat ini mendukung upaya dari Kemenlu RI untuk menghentikan pengiriman mahasiswa ke luar negeri. Disisi lain, Kemenlu RI juga harus berani protes ke Pemerintah Taiwan atas perlakuannya terhadap mahasiswa magang asal Indonesia. “Ini sangat menyinggung perasaan Bangsa Indonesia. Karena mahasiswa magang diperlakukan seperti itu,” pungkasnya.
Terpisah, sebagaimana diketahui, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir menegaskan tidak ada mahasiswa Indonesia menjalani kerja paksa di Taiwan. Menurutnya isu tersebut hoax.
Ia menduga adanya informasi tidak benar tersebut, ada kaitannya untuk kepentingan politik lantaran juga sedang berlangsung tahapan pemilihan presiden di Taiwan.
“Jadi ini masalah berita lama, dan sekarang sedang ada pemilihan presiden di sana, jadi isu ini muncul terus. Intinya bagaimana lawan menghancurkan dengan berita itu. Kami sudah cek, sebenarnya tidak ada “kerja paksa” itu,” ujar Menristekdikti di Semarang, Jumat (4/1), dikutip dari Antara.
Lebih lanjut Nasir mengatakan, jika Pemerintah sudah berkoordinasi dengan Kantor Ekonomi dan Dagang Taipei (TETO) terkait pengiriman mahasiswa tersebut. Dari koordinasi itu, Kemenristek Dikti menyimpulkan bahwa tak ada mahasiwa Indonesia yang dipaksa bekerja di Taiwan.
“Nah, yang masalah adalah tenaga kerja. Jadi mereka itu tenaga kerja sambil kuliah, bukan kuliah kemudian mencari kerja. Jadi urusannya ke tenaga kerja,” cetus dia.
Ia beranggapan, isu tersebut merupakan kejadian pada 2016 atau sebelum ditetapkannya kerja sama pemberian beasiswa kepada mahasiswa Indonesia.
“Penetapannya baru pada 2017, kemudian diseleksi pada 2018, dan ini mau diberangkatkan pada 2019.”
Dalam kesempatan itu, Nasir pun membantah bahwa mahasiswa Indonesia diberi makanan yang tidak halal. Pihak kampus juga menyediakan beasiswa bagi mahasiswa Muslim. Nasir pada awalnya mengaku heran dengan pemberitaan “kerja paksa” itu, padahal Indonesia dan Taiwan memiliki hubungan baik dalam bidang pendidikan. “Bahkan banyak universitas di Taiwan yang meraih peringkat universitas top dunia,” katanya.
Pemerintah Taiwan melalui kantor perwakilannya di Indonesia, Taipei Economic and Trade Office (TETO), membantah adanya praktik kerja paksa ratusan mahasiswa Indonesia di Taiwan dalam Program Magang Industri-Universitas.
Kepala TETO John C. Chen mengatakan, Kementerian Pendidikan Taiwan sudah mendatangi dan mewawancarai selurah mahasiswa Indonesia di Universitas Sains dan Teknologi Hsing Wu pada 28 Desember 2018 dan 3 Januari 2019.
“Mereka menyangkal bahwa mereka dilecahkan dalam program magang tersebut,” ujar Chen dalam konferensi pers di Kantor TETO, Jakarta, Jumat (4/1/2019
Sebelumnya, diberitakan sekitar 300 mahasiswa Indonesia di Taiwan mengalami “kerja paksa”. Mereka dipaksa bekerja di berbagai pabrik dan hanya kuliah satu hari dalam seminggu.
Dalam sepekan para mahasiswa itu dikabarkan hanya belajar di kelas selama dua hari. Setelah itu mereka bekerja empat hari di pabrik selama 10 jam, dan mendapat jatah satu hari untuk libur. Mereka dipekerjakan di pabrik lensa kontak di Hsinchu dengan waktu kerja dari pukul 07.30 sampai 19.30 waktu setempat.
Mereka harus berdiri selama 10 jam dan membungkus setidaknya 30 ribu bungkus lensa kontak, dengan waktu istirahat hanya dua jam. Mereka yang rata-rata Muslim, diberi makanan yang tidak halal bahkan mengandung daging babi. (sur/ano/yan)