Surabaya
Kunjungan Ayo Inklusif ke PT Wangta Agung, Berikan Difabel Kesempatan Kerja Layaknya Pekerja Normal
Memontum Surabaya—Siapa bilang penyandang disabilitas tak memiliki kesempatan kerja layaknya orang normal? Pandangan tersebut terbantahkan oleh para pekerja penyandang disabilitas (difabel) yang bekerja di perusahaan inklusi PT Wangta Agung, sebuah perusahaan sepatu yang terletak di Tanjungsari 24 Surabaya. Tak tanggung-tanggung, sekitar 89 pekerja difabel yang terdiri dari 54 pekerja laki-laki dan 35 pekerja perempuan penyandang tuna rungu, tuna wicara, dan tuna daksa.
Berawal dari kesulitan mencari tenaga kerja untuk memenuhi target produksi sekitar tahun 2010, PT Wangta Agung akhirnya memutuskan solusi kebijakan dengan memberikan peluang kerja kepada penyandang disabilitas tanpa memandang jenis cacat dan jenjang pendidikan. “Kalau orang normal masih pilih-pilih pekerjaan. Apa salahnya kalau kita memberikan peluang kerja kepada difabel, dimana mereka yang memiliki kekurangan biasanya sangat menghargai kesempatan yang diberikan. Jadinya sinkron, antara kami butuh pekerja untuk target produksi, mereka mendapatkan peluang kerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dalam pelaksanaannya, kami tak membedakan perlakuan. Semua kami anggap normal dengan pemberian target produksi,” jelas Daniel Christianto, Direktur PT Wangta Agung Surabaya, kepada Memo X
Pria pemilik usaha turunan generasi ketiga sejak tahun 1950-an, yang memproduksi semua jenis sepatu dari berbagai merk, baik dalam negeri maupun melayani ekspor ke Eropa, UK, Amerika Selatan, dan Jepang ini, mengatakan bahwa pekerja difabel tentunya mendapatkan pelatihan selama 20 hari agar memiliki keahlian yang dibutuhkan sesuai bidangnya. “Setelah secara soft skill bisa, untuk karakter atau etika kerja kami bina juga. Karena secara akademik mereka hanya lulusan SMA/SMK ke bawah. Namun secara pendapatan, sama dengan orang normal yang kami kelompokkan berdasarkan 1 tim kerja,” jelas Daniel.
Sementara HRD PT Wangta Agung, Suryanto, mengatakan kinerja pekerja difabel dari segi kualitas dan produktifitas dinilai baik. Meski hanya 89 pekerja difabel, namun mampu menyeimbangi kinerja total lebih 1.500 pekerja. “Kesulitan pertama kali adalah komunikasi dan kesabaran. Kami ajak pengawas dan mandor untuk memahami kondisi mereka. Mau tak mau akhirnya kami belajar bahasa isyarat otodidak. Selain itu, memberikan pelatihan seperti menjahit, outsole, sablon, dan lainnya. Dimana sebagian besar sebelumnya tidak memiliki keahlian yang kami butuhkan. Karena semangatnya tinggi dan mau maju, akhirnya bisa,” jelas Suryanto.
Suryanto menambahkan, rata-rata di awal masuk kerja, para orang tua dan calon pekerja ragu dengan kemampuan dan keamanan dalam bekerja. “Kami membuka lowongan kerja melalui beberapa media, Disnaker, share info ke komunitas, dan lainnya. Awalnya orang tua kasihan, namun kami berikan pemahaman bahwa dengan pelatihan yang benar, otomatis aman dalam bekerja. Akhirnya, orang tua merasa anaknya sukses, karena sudah bisa mentransfer penghasilan. Mereka datang dari Ngawi, Banyuwangi, Malang (SLB Lawang), dan daerah lainnya,” pungkas Suryanto.
Ada beberapa pengalaman menarik ketika tim local journalist orientation dalam program Ayo Inklusif menemui beberapa pekerja difabel. Diantaranya Widodo (38), difabel tuna rungu di posisi penjahit upper, yang bekerja sejak dari tahun 2011. Sebagai pekerja difabel terlama, Widodo mampu menyelesaikan target 70-80 buah upper per jam. Sementara Feri Irawan (24), difabel tuna daksa asal Bangil, yang memiliki kaki satu karena amputasi akibat flu tulang (kanker) saat usia 14 tahun. Mengaku betah hingga telah bekerja 3 tahun di bagian menjahit lidah sepatu. Tak beda dengan Arif (24), difabel tuna daksa kaki yang telah bekerja di bagian jahit kain body sepatu selama 3 tahun.
Sedangkan Toha, pria asal Nganjuk, yang telah bekerja selama 4 tahun dan saat ini bekerja di posisi jahit siksak ini mengaku betah. “Saya sebelumnya pernah bekerja di proyek. Karena cacat kaki mulai lahir, saya tak mampu bekerja gerak cepat berpindah-pindah posisi. Ya betah disini, karena belum tentu tempat lainnya menerima kami,” ungkap Toha.
Sekretaris Asosiasi Persepatuan Indonesia (Apresindo) Jatim, Ali Mas’ud, mengatakan, untuk mempermudah pelatihan, Apresindo akan melatih 50 anak se-Jatim dengan didampingi 3 penerjemah. “Saat ini sudah siap 30 anak. Kami juga menggandeng Balai Diklat Jogjakarta di bidang alas kaki, yang nantinya mereka akan memiliki sertifikasi,” jelas Ali.
Dalam kesempatan tersebut, disaksikan sekitar 20 awak media dari Malang, Daniel Christianto menerima penghargaan dari Mimy Santika (Project Manager Program Mitra Kunci USAID), didampingi Hariatni Novitasari (Project Manager Ayo Inklusif), Ali Mas’ud, dan Suryanto.
Target project Ayo Inklusif! adalah pemuda disabilitas memiliki peluang mengakses kesempatan kerja melalui pelatihan peningkatan soft skill, hard skill dan pemagangan; meningkatnya perhatian dan menguatnya kepatuhan khususnya pemerintah daerah dan pelaku usaha terhadap ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas agar semakin luasnya kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas; dan meningkatnya
kesadaran melalui media agar pemerintah daerah dan pelaku usaha dapat memberikan
kesempatan terhadap kaum muda penyandang disabilitas untuk dapat kesempatan memasuki dunia pekerjaan. (rhd/yud)