Surabaya

Pro Kontra Perubahan Nama Jalan Memanas

Diterbitkan

-

Pro Kontra Perubahan Nama Jalan Memanas

Baliho Penolakan dari Politikus Nasdem Dirobohkan Orang

 
Memontum Surabaya — Perubahan nama jalan pasca rekonsiliasi budaya yang diprakarsai Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan untuk menandai berakhirnya perseteruan sejarah 661 tahun antara etnis Sunda dan etnis Jawa pasca tragedi Perang Bubat pada tahun 1357 Masehi, ternyata masih belum disikapi dengan bijak. Indikasi ini terlihat dari munculnya pro kontra di akar rumput. Terbaru, kelompok kontra yang banyak mendapat dukungan dari tokoh-tokoh politik asal Surabaya menyesalkan baliho penolakan perubahan usulan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dengan mengubah Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 1975 terkait perubahan nama jalan, dirobohkan orang tidak dikenal.

“Baliho dipasang pagi, tapi siang sudah roboh,” kata anggota Komisi C Bidang Pembangunan DPRD Kota Surabaya Vinsensius Awey, Kamis (22/3/2018). Menurut dia, baliho yang dia pasang di Jl Dinoyo berisikan materi tentang penolakan perubahan nama Jl Dinoyo menjadi Jl Pasundan diketahui tergeletak di pinggir jalan setelah beberapa jam dipasang.

Awey mengaku tidak tahu siapa yang merobohkan baliho tersebut. Menurutnya, laporan yang masuk ke pihaknya baliho itu dirobohkan beberapa jam setelah dipasang.
Robohnya baliho penolakan perubahan nama jalan tersebut, dinilai Awey sebagai bukti arogansi oknum terhadap adanya perbedaan pendapat.

Menurutnya, nama jalan merupakan kesepakatan publik dan dirinya sebagai wakil rakyat wajib memperjuangkan aspirasi rakyat. Terlebih, kata dia, ada upaya memangkas kewenangan pihak legislatif dalam persoalan itu.

Advertisement

“Saya menolak keras perubahan nama jalan itu, dan saya yakin penolakan akan kian besar lantaran ini sesuatu yang dipaksakan,” katanya.

Ketua Badan Pembentukan Perda Daerah (BPP) DPRD Kota Surabaya M Machmud sebelumnya mengaku draft Perda Perubahan Nama Jalan sudah dikirim Pemkot Surabaya ke DPRD Surabaya sekitar dua minggu lalu.

“Pada Perda 2/1975 masih terdapat ketentuan bahwa, penggantian nama jalan harus mendapatkan persetujuan DPRD. Sebaliknya, lanjut dia, pada draft perubahan perda yang disampaikan pemerintah kota tidak ada isi yang menyebutkan harus adanya persetujuan DPRD Surabaya,” katanya.

Ia mengatakan pada Perda 2/1975, persetujuan diperlukan sesuai dengan suasana politik yang terjadi saat itu. Sedangkan, saat ini, apabila melakukan perubahan tidak perlu mendapat persetujuan karena aturan di atasnya, seperti Permendagri tidak ada. “Tapi, untuk mengubah perda memang harus dilakukan DPRD,” katanya.

Advertisement

Persoalan perubahan nama jalan ini muncul setelah adanya pertemuan Gubernur Jawa Timur Soekarwo, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan HB X dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dalam acara rekonsiliasi budaya antara Sunda dan Jawa dengan tema “Harmoni Budaya Sunda Jawa” di Surabaya pada Selasa (6/3/2018).

Dalam pertemuan tersebut Gubernur Jatim Soekarwo mengusulkan perubahan nama Jalan Gunungsari menjadi Prabu Siliwangi dan Jalan Dinoyo menjadi Pasundan kepada Pemkot Surabaya. Alasan pergantian nama jalan menandai rekonsiliasi antara Provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat sekaligus mengakhiri 661 tahun “perselisihan” antaretnis Sunda dan Jawa.

Mendapati hal itu, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini melayangkan surat Nomor 640/1433/436.7.5/2018 tentang usulan perubahan nama jalan itu merespons adanya surat dari Gubernur Jatim.

Kabag Humas Pemkot Surabaya M. Fikser mengatakan dalam surat tersebut, Pemkot Surabaya hanya memberikan masukan yang seharusnya dilakukan dalam perubahan nama jalan dengan batasan mana saja. Selain itu, lanjut dia, Pemkot Surabaya juga minta bantuan kepada Pemerintah Provinsi Jatim untuk ikut membantu mensosialisasikan pergantian nama jalan tersebut kepada warga terdampak. (pra/nay)

Advertisement
Advertisement

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker

Refresh Page
Lewat ke baris perkakas