Kota Malang
OJK Imbau Perbankan Gandeng Sektor Lain, Kembangkan Revolusi Industri 4.0
Memontum Kota Malang—-Tak dapat dipungkiri lagi, Revolusi Industri 4.0 semakin tak terelakkan. Terlebih revolusi industri yang terkait perekonomian. Mau tak mau masyarakat harus turut ambil bagian untuk memenuhi kebutuhannya. Jika tidak, maka bisa dipastikan akan hanya jadi penonton. Bahkan akan tergilas oleh jaman.
“Bagi yang bisa memanfaatkan Revolusi Industri dengan benar, tentu akan bisa lebih produktif.
Jika tidak bisa, maka hanya akan jadi penonton.
Secara ekonomi, Indonesia termasuk 10 besar dunia. Sehingga harus dipersiapkan Revolusi Industri, seperti di bidang tekstil, farmasi, dan lainnya. Terutama UKM. Diprediksi, ada 10 jenis tenaga kerja terampil yang memanfaatkan Revolusi Industri dengan baik, sisanya masih banyak peluang. Sebab setiap pertumbuhan 1 persen, mampu menyerap 500.000 tenaga kerja,” ungkap Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Malang, Widodo, saat menjadi salah satu narasumber Economic dan Capital Market Outlook 2019, di Gedung Baru Kantor OJK Malang, jalan Letjen Sutoyo 109-111 Malang, Jumat (14/12/2018) sore.
Menurutnya, sektor riil UMKM harus mendapat perhatian khusus, agar dapat mengarahkan peluang bisnis baru pada 2030. Dari hasil survei OJK, arah layanan perbankan 50 persen ke arah digital seperti biometrik. Kesiapannya mayoritas dialokasikan penyediaan SDM. “Masyarakat belum terlalu merasakan dampak revolusi industri 4.0. Hanya generasi milenial yang sudah menyesuaikan. Termasuk melalui UMKM. Setidaknya 4-5 tahun akan jauh berbeda manfaatnya,” tambah Widodo.
Awal tahun 2019, akan ada peraturan baru OJK terkait Fintech, khususnya perbankan harus memiliki fasilitas tersebut. Dikarenakan sudah menjadi kebutuhan masyarakat ke depannya.
“Perbankan memang tidak boleh langsung menjual e-commerce, namun menggandeng pihak pemilik start-up. Misal beli tiket pesawat di salah satu e-commerce, pembayarannya melalui salah satu bank yang ditunjuk di menu yang telah tersedia,” tandas Widodo.
Sementara itu, ekonom muda asal Malang, Dr. Dias Satria, mengatakan masalah fundamental ekonomi Indonesia ada tiga, yaitu Ekonomi yang terfragmentasi, termarginalisasi dalam Global Value Chain, dan masalah daya saing dan produktivitas. “Terfragmentasi sudah teratasi dengan pembangunan infrastruktur. Terkait termarginalisasi, contohnya dalam pembuatan iPhone SDM kita tidak terlibat di dalamnya. Sehingga daya saing dan produktivitas kita memang bisa terbilang rendah,” jelas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) ini.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2019 diproyeksikan akan membaik. Sebab tingkat konsumsi masyarakat Indonesia cukup tinggi, dengan marketshare cukup besar. Investasi di Indonesia pun cukup baik, sehingga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik. Namun di sisi Good Governance dan Ekspor Impor harus mendapatkan perhatian.
“Pemerintah harus lebih fokus pada prioritas pembangunan di sektor pendidikan, kesehatan, dan lainnya. Dan yang paling penting bagaimana mendorong ekspor produk lokal, misal UMKM di bidang ekonomi kreatif, industri kreatif, dan lainnya yang mempunyai nilai tambah. Khususnya terkait digital yang mampu mendorong perkembangan lebih cepat,” jelas Dias.
Menurutnya, yang perlu diwaspadai ketika China masuk platform e-commerce Indonesia, maka mereka akan besar. “Pangsa Indonesia itu besar. Maka seharusnya platform tersebut berasal dari Indonesia, untuk mendatangkan investasi dari luar. Sebab saat ini, perguruan tinggi, pemerintah, pengusaha jalan sendiri-sendiri. Ini harus dikolaborasikan. Contohlah negara yang berdaya saing tinggi seperti Swiss dan Finlandia,” tandas Dias. (rhd/yan)