Kabar Desa
Peserta Kurban harus Bayar Uang, Begini Kata Bimas Kemenag Lamongan
Memontum Lamongan – Penyembelihan dan pembagian hewan kurban Idul Adha 1442 H, telah digelar di tengah pandemi Covid-19 atau pada Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Begitu juga, untuk pelaksanaan serupa di Desa Cungkup Kecamatan Pucuk, Lamongan.
Hanya saja, warga yang kurban, diwajibkan untuk mendaftarkan di Kantor Desa Cungkup. Ironisnya, warga yang kurban kambing juga diharuskan membayar uang sebesar Rp 50 ribu, sedangkan untuk kurban sapi dikenakan uang sebesar Rp 400 ribu.
Baca Juga:
- Kemenkominfo Webinar di Lamongan dengan Tema Pemanfaatan Internet untuk Penyebaran Konten Positif
- Usai Dilantik, DPRD Lamongan Agendakan Pembentukan Tatib hingga Alat Kelengkapan Dewan
- DPRD Lamongan Lantik 50 Anggota Legislatif Periode 2024-2029
Uang-uang tersebut, menurut informasi sebagai biaya operasional pelaksanaan kurban. Terkait hal tersebut, dituangkan dalam surat pemberitahuan dan undangan yang ditanda tangani oleh Kepala Desa Cungkup, Kecamatan Pucuk, Kabupaten Lamongan.
Akibat hal itu, tuaian protes sebagian warga setempat pun muncul. Sekretaris Desa (Sekdes) Cungkup, Aris Mahmudi S Pd, saat dikonfirmasi mengatakan, karena memang kurban dijadikan satu di desa. Jadi, melalui Pemerintah Desa (Pemdes) dan keputusan itu telah disepakati bersama dan hasil musyawarah dengan para takmir dan tokoh masyarakat.
“Biaya tersebut untuk operasional panitia,” kata Sekdes singkat.
Sementara itu, Kepala Desa (Kades) Cungkup, Giono, saat dikonfirmasi justru menyuruh untuk bertanya kepada panitia kurban. “Coba Bapak menghadap Ketua Panitia, Bapak Hadi Purnomo. Biar lebih jelas,” pintanya.
Saat ditanya soal keharusan peserta kurban dengan membayar uang, Kades Giono, menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan rapat bersama lembaga desa serta tokoh agama.
“Kita rapat bersama BPD Rt Rw, Ketua, Ranting NU Cungkup, Ketua Ranting Muhamadiyah Cungkup, Ketua takmir masjid, serta tokoh agama, dan KH Hasim Jaelani, dan rapat itu ada berita acaranya, tanda tangan peserta rapat, foto peserta rapat,” jelasnya.
Menanggapi hal ini, Kasi Bimas Kemenag Lamongan, Khoirul Anam, S Ag M Ag, terkait dengan hal tersebut mengatakan akan minta informasi kepada pihak terkait, agar ada informasi secara komprehensif.
Lebih lanjut, secara syar’i penyembelihan hewan kurban, sebenarnya diserahkan sepenuhnya kepada yang berkorban. “Jika dia menyembelih dan membagikan daging kurban sendiri, dipersilahkan. Pada perkembangannya kemudian di masjid, musholla, pondok hingga langgar, biasanya ada panitia yang dibentuk untuk menerima penyembelihan,” ujar Khoirul Anam.
Biasanya yang ada di masyarakat ada istilah ‘selawat’ untuk biaya operasional mulai penjagalan, penyembelihan dan pembagian daging. ‘Selawat’ ini dalam tradisi masyarakat cukup beragam. Ada yang seikhlasnya, ada yang dengan kesepakatan.
“Karena beberapa tempat, tidak ada orang yang bisa menyembelih sapi, misalnya, maka kemudian menyewa jasa jagal, dengan biaya tertentu, maka lantas ada kesepakatan untuk biaya tersebut masing-masing penyembelih melakukan iuran dengan nominal tertentu,” paparnya.
Selain itu, ada juga yang tanpa ‘selawat’, tapi dibiayai oleh operasional masjid, karena penyembelihan diserahkan ke masjid, maka masjid mempunyai kewajiban untuk melakukan amanat tersebut. “Beberapa ada yang tidak sependapat uang infaq masjid digunakan untuk biaya operasional penyembelihan, sehingga kadangkala disepakati dengan iuran ataupun dengan cara barter kulit sapi dg tenaga jagal, artinya sangat variatif,” terang Kasi Bimas Kemenag Lamongan.(azl/ed2)