Jombang
Potret Kemiskinan di Jombang, Kakek-Nenek Tinggal di Gubuk Reot, Bertahan Hidup dari Belas Kasihan Tetangga dan Orang yang Melintas
Disinggung tentang bantuan rumah layak huni dari pemerintah Kabupaten Jombang, Supar mengaku tidak tahu menahu soal itu. Saat ditanya tentang perhatian kepala desanya terhadap nasib dan keadaan rumahnya, Supar hanya tersenyum.
“Mboten nateh angsal mas, kirangan Pak Uum (kepala Desa Tapen) niku, kulo mboten nedi ten tiang mas Kulo nedi ten Gusti Allah, terangnya sambil tersenyum. Supar dan Sartini di depan teras rumahnya
Supar dan Sartini sebelumnya tinggal di Flores NTT. Dia memutuskan pulang ke kampung halamannya Dusun Pagendingan pada tahun 2004. Itu karena usahanya di Flores bangkrut. Sampai di Jombang, Supar bersama istri dan anak-anaknya mengawali hidup baru. Supar sempat mendapat pekerjaan sebagai tukang las dodog namun pada tahun 2006.
Ia terpaksa berhenti karena mata kanannya tiba-tiba tidak dapat melihat kemudian mata kirinya kabur. Tidak hanya itu tak meiliki pekerjaan karena kondisi matanya yang sakit, nasib menghantarkan Supar ke sebuah rumah bekas warung di sekitaran sungai Brantas yang sampai sekarang ia tempati. Sedangkan anak-anaknya yang tinggal di kota Lumajang dan Mojosari dan sudah mapan setahun sekali berkunjung.
“Yugo (anak) alhamdulilah pun mapan( mampu) setunggal di Lumajang, setunggale ten Mojosari.Sambang setahun sepindah kulo disangoni 100 sampai 150 ewu (anak saya dua, satu di Lumajang, dan satunya di Mojosari berkunjung setahun sekali dan saya diberi uang 100-150 ribu),” pungkas Istri Supar, Sartini sambil menunduk haru. (ham/yan)