Hukum & Kriminal
Ratusan Warga Terdampak Bendungan Bagong Ikuti Sidang
Tuntut Keadilan Ganti Rugi Lahan
Memontum Trenggalek – Ratusan warga terdampak pembangunan Bendungan Bagong mengikuti jalannya sidang, awal pekan kemarin (28/9). Meski harus menunggu di luar ruangan, sejumlah warga yang terdampak pembangunan proyek nasional ini, dengan tertib mengikuti jalannya sidang dengan agenda pembuktian saksi.
Dalam sidang kali ini, Majelis Hakim menghadirkan 2 saksi yang berperan dalam perkara ini. Yakni Kepala Desa Sengon, Dwi Yulianto dan Sekretaris Desa Sengon Jarwoto.
Kuasa Hukum warga terdampak, Haris Yudianto, mengatakan jika dalam sidang kali ini turut menghadirkan dua saksi yang menyatakan beberapa bukti nilai ganti rugi lahan. “Sidang hari ini jadwalnya menghadirkan dua orang saksi. Saksi itulah, yang memberikan pernyataan terkait nilai ganti rugi lahan yang ditawarkan ke tim appresial (penilai), yang tidak sesuai dengan harga di lapangan,” ungkap Haris.
Dalam hal ini, pihaknya menemukan kejanggalan berupa surat yang diberikan kepada masyarakat tanpa adanya tanda tangan dan kop (kepala surat) lembaga. Tentu saja, ini tidak bisa dipastikan siapa yang bertanggung jawab.
“Surat itu isinya keputusan Tata Usaha Negara (TUN), akan tetapi tanpa adanya kop lembaga dan tanda tangan pejabat. Hanya lembaran yang diberikan kepada masyarakat. Bahkan, selama saya menjadi pengacara, baru kali ini menemukan perkara seperti ini,” imbuhnya.
Ditambahkan kuasa hukum warga terdampak, nominal yang diberikan kepada masyarakat tidak secara tertulis. Sehingga, pihaknya menuntut transparansi rincian harga ganti rugi lahan. “Persoalan ini sangat merugikan warga. Karena, warga tidak dilibatkan dalam perundingan harga ganti rugi,” kata Haris.
Masih menurut kuasa hukum warga terdampak, kliennya hanya menuntut ganti rugi lahan. Setidaknya, harus sama dengan lahan di Desa Nglinggis, Kecamatan Tugu. Meski pun, lahan di Desa Nglinggis, masuk kategori lahan tidak produktif. Sementara di Desa Songan dan Sumurup jauh lebih produktif.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Desa Sengon, Dwi Yulianto menuturkan jika tanah yang ada di Desa Sengon, adalah ladang dan sawah. Bahkan, dalam setahun bisa panen hingga 3 kali. Sedangkan di Nglinggis hanya setahun sekali berupa tanaman jagung.
“Setidaknya, nilai ganti rugi lahan minimal disamakan dengan Desa Nglinggis. Tapi jika harga ganti rugi rendah dan tidak sesuai, tentu untuk membeli lahan baru saja tidak cukup lalu masyarakat akan tinggal dimana,” tutur Dwi.
Sekdes Sengon, Jarwoto, mengaku jika ia mengikuti perkembangan pembangunan Bendungan Bagong sejak awal perencanaan. Mengingat, ia menjabat sebagai Sekdes sejak tahun 2016. “Dari awal perencanaan sudah tahu, karena saya sudah menjadi Sekdes sejak tahun 2016. Atau, jauh sebelum pembangunan Bendungan Bagong dilakukan,” terang Jarwoto.
Menurutnya, warga menyayangkan pemberian harga dari tim appraisal, yang tidak sebanding dengan musim panen hingga tiga kali dalam setahun. Padahal, dari apa yang ada di lapangan, tanah yang ada di desa kami itu termasuk bagus. Saluran irigasi lancar, bahkan panen bisa sampai 3 kali selama kurun waktu satu tahun. (mil/sit)