Surabaya
Tragedi Bom Surabaya Masih Menyisakan Trauma
Memontum Surabaya—Setahun lalu, tepatnya 13 Mei 2018 terjadi tragedi bom di Kota Surabaya. Tepatnya, di Gereja Santa Maria Tak Bercela pukul 06.30, disusul Gereja Kristen Indonesia Diponegoro pukul 07.15, Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Arjuno pukul 07.53, Rusunawa Wonocolo Sepanjang Sidoarjo pukul 20.00, dan terakhir pada tanggal 14 Mei 2018 di Mapolrestabes Surabaya pukul 08.50. Peristiwa itu masih menyisakan trauma bagi korban.
Seperti Raden Ardi Ramadhan (25), salah satu korban di lokasi terakhir (Mapolrestabes) pada 14 Mei 2018. Ia yang berada dalam mobil Avanza bernopol W 1885 AZ, tepatnya di samping dua motor dan lima orang pelaku. Dia terkena imbas bom di kiri mobil sehingga membuat pintu terpental dan Ardi serta adik perempuannya luka-luka.
Memutar kembali memori peristiwa bom, ia menceritakan awal kejadian yang menimpa Ayah (menyetir mobil), Ibu (di belakang Ayahnya), Ardi (di samping Ayahnya), Adik perempuan (di belakang Ardi). Bagaimana kepolisian menghentikan keluarganya untuk masuk ke Mapolrestabes guna dilakukan pengecekan.
“Pas saya datang ke Polrestabes dengan keluarga, saya diperiksa oleh Provost di kanan dan tiga orang polisi di samping kiri. Setelah itu saya ditanya mau apa dan tujuannya apa, lalu ada motor masuk dadi kiri. Seharusnya motor itu parkir di samping Polrestabes, tapi anehnya kok masuk dibagian Polrestabes dan selang beberapa detik ledakan terjadi,” cerita dia saat diwawancarai di Humas Pemkot Surabaya, Rabu (14/5).
Setelah itu, ia melihat di kiri ada empat mayat berceceran akibat ledakan bom, dan satu anak kecil berdiri sempoyongan.
“Ketika ada ledakan kami tidak teriak, kami menunduk dan terdiam. Namun setelah itu kami lari semua masuk ke Mapolrestabes,” ujarnya.
Ketika lari, ia dan keluarganya tidak merasa ada yang luka. Tapi belum sampai masuk ke dalam, ternyata adiknya terjatuh dan banyak bercucuran darah di kakinya.
Plat sedalam 10 cm pun menancap di paha adiknya, juga terdapat luka di bagian pinggul dan leher. Sementara Ardi, juga mendapati tancapan serpihan kaca di bagian kepala belakang dan leher.
“Nah waktu itu kaca sebelah kiri dan depan mobil kami pecah semuanya. Adik saya yang waktu itu usianya 17 tahun paling ketakutan dan paling trauma diantara keluarga, sampai saat ini dia masih terngiang-ngiang, tapi tidak selalu,” ungkapnya.
Ia mengatakan, waktu bersama keluarganya memenuhi persyaratan laporan dari tantenya ke Polrestabes. Dan sebelumnya sempat melihat beberapa gereja yang dibom sebelumnya, tapi ia tidak menyangka jika ada pengeboman di Mapolrestabes Surabaya.
“Kami sudah dengar dari radio dan TV jika ada pengeboman. Kami sekeluarga sempat waswas. Tapi karena ada perlu, kami tetap ke polres,” kata dia.
Setelah kami lari ke dalam, kata Ardi, ia juga diwawancarai untuk memastikan tujuan kedatangannya. Setelah usai, keluarganya dan keluarga pelaku dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara (dr. Sjamsoeri Mertojoso) Surabaya.
Ia juga menjelaskan, keluarganya dan anak pelaku pengeboman dijaga ketat oleh pihak kepolisian. “Jadi selama seminggu ayah, ibu, dan adik saya di RS. Untuk penyembuhan dan menghilangkan trauma,” jelasnya.
Hingga saat ini pun Ardi dan keluarganya masih trauma dan terkadang waswas jika melihat sosok pelaku. Tapi ia terus menepis dan berpikir positif bahwa tidak akan terjadi hal yang sama lagi.
“Ya adik saya yang masih teringat dan trauma banget,” katanya
Ia berharap agar tidak pernah terjadi lagi hal tragis di Kota Surabaya ini. Dan seluruh masyarakat bisa saling menjaga tali persaudaraan antar umat beragama. (est/ano/yan)