SEKITAR KITA
ART Tolak RUU Omnibus Law, Hearing Dengan Pansus 1 DPRD
Memontum Trenggalek – Tolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law, Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) geruduk kantor DPRD Trenggalek. Sejumlah perwakilan masyarakat diterima langsung oleh Panitia Khusus (Pansus) 1 DPRD di Aula Gedung DPRD Trenggalek.
“Kegiatan hari ini kita menindaklanjuti usulan dari Aliansi Rakyat Trenggalek (ART) yang berkaitan dengan Omnibus Law. Seperti yang diketahui jika Omnibus Law atau Cipta Kerja ini akan berdampak merugikan bagi masyarakat dan menguntungkan bagi pengusaha,” ucap Ketua Pansus 1 DPRD Trenggalek, Sukarudin saat dikonfirmasi usai hearing, Kamis (15/10/2020) sore.
Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja, tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Aturan ini masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Selain terkait Omnibus Law, ART juga menanyakan terkait Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dalam hal ini luasan karst. Ada sekitar 53.506 hektar tanah karst di Kabupaten Trenggalek agar disesuaikan dengan penetapan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). “Hal ini dimaksudkan dengan tujuan untuk menjaga kelestarian ekosistem dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Mengingat permintaan dari ART yang semata-mata demi kepentingan masyarakat kedepannya, agar tidak merusak lingkungan seperti halnya kegiatan tambang, maka akan menjadi pertimbangan penting untuk penetapan RTRW.
“Namun juga perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Karena kita tidak mau jika mau memutuskan sesuatu, ada hal-hal kepentingan lain yang nantinya justru akan menimbulkan permasalahan baru,” kata Sukarudin.
Sementara itu, salah satu perwakilan ART, Suripto mengatakan, kedatangannya ke kantor DPRD Trenggalek adalah untuk melakukan hearing terkait Omnibus Law. Sedangkan saat ini di Kabupaten Trenggalek sendiri tengah berjalan pembahasan RTRW.
“Dari sisi prosedur, Omnibus Law ini dikatakan cacat. Bukan berbicara tentang substansi, akan tetapi dari sisi prosedurnya saja sudah tidak memenuhi syarat penyusunan undang-undang,” ungkap Suripto. Artinya penyusunan Omnibus Law ini merupakan suatu perundang-undangan yang cacat prosedur.
Jadi peraturan yang lebih tinggi itu mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Dengan adanya undang-undang Omnibus Law khususnya pasal 70 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa Peraturan Pemerintah mengesampingkan peraturan apabila Undang-Undang itu bertentangan dengan subtansi terkait kepentingan Omnibus Law.
“Dalam hal ini ART menyoroti 3 hal terkait undang-undang Omnibus Law. Yang pertama adalah memanjakan investor, menekan upah buruh dan merusak lingkungan,” tegasnya.
Masih terang Ripto, tuntutan penolakan RUU Omnibus Law ini juga akan berdampak pada pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi.
“Hal ini di antaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan Amdal bagi kegiatan usaha, hingga berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu,” katanya.
Juga politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja yang bernuansa diskriminatif. Karena lebih menjamin kepentingan sekelompok orang atau kelompok pelaku usaha atau korporasi. Sehingga mencederai hak atas persamaan di depan hukum.
“Yang jelas tuntutan kita adalah mengembalikan 53.506 hektar tanah karst. Karena ini menyangkut komitmen terhadap pelestarian lingkungan,” pungkas Ripto. (mil/syn)