Hukum & Kriminal
Guru Besar Hukum Pidana UB Hadiri Sidang Mutilasi, JPU Harus Bisa Buktikan Dakwaan
Memontum, Kota Malang – Sidang dengan terdakwa Sugeng Santoso (49) warga Jodipan Gang III, Kota Malang, cukup menyedot perhatian. Bagaimana tidak, penasehat hukumnya dari tim Peradi Malang Raya bahkan sampai menghadirkan satu-satunya guru besar hukum pidana Universitas Brawijaya Malang Prof Masruchin Roba’i SH MS dalam persidangan, Kamis (23/1/2020) siang.
Ahli ini dihadirkan berdasarkan pengetahuannya untuk membuka tabir apakah terdakwa ini melakukan pembunuhan biasa, pembunuhan berencana seperti yang didakwakan JPU yakni Pasal 340 KUHP dan Pasal 338 KUHP.
Prof MAsruchin dengan gamblang menjelaskan terkait Pasal 340 KUHP dan Pasal 338 KUHP. Bahwa dalam persidangan apa yang didakwakan oleh JPU harus bisa dibuktikan.
Iwan Kuswardi SH MH, ketua tim penasehat hukum Sugeng usai persidangan menjelaskan bahwa pihaknya mendatangkan ahli untuk membuka tabir yang selama ini dirasa masih sedikit remang-remang.
“Tadi ahli menyebut kalau pembunuhan biasa adalah seketika itu dilakukan mengakibatkan hilangnya nyawa. Kalau pembunuhan berencana ada jeda waktu untuk berpikir membuat keputusan menghilangkan nyawa. Selama ini ke 2 dakwaan JPU sama sekali tidak bisa dibuktikan, ” urai Iwan.
“Dalam persidangan sama sekali tidak ada hal itu. Tugas jaksa adalah membuktikan surat dakwaan pembunuhan berencana dan pembunuhan biasa. Keterangan ahli hubungan kausalitas antara perbuatan si pelaku dengan akibat yang ditimbulkan harus ada,” ujar Iwan.
Dari hasil visum et repertum disebutkan semua anggota badan korban tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan.
“Hasil visum jelas menyebut bahwa tubuh korban dipotong post mortem yang artinya sudah dalam kondisi meninggal dunia. Sedangkan dakwaan Jaksa dikatakan Sugeng menghilangkan nyawa dengan menggorok leher korban. Namun hasil visum menyebutkan leher dipotong Post mortem, ” papar Iwan.
“Apakah perbuatan itu harus dibuktikan dengan adanya saksi? Tidak perlu. Dengan surat saja cukup asalkan ada 2 alat bukti. Persoalannya dalam kasus ini, visum tidak ditemukan penyebab kematian,” ujar Iwan.
Dalam persidangan-persidangan sebelumnya Sugeng mengaku memutilasi korban, namun tidak membunuh. Menurutnya korban meninggal karena sakit baru dimutilasi.
Iwan Kuswardi mengatakan bahwa hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat harus jelas.
“Misalkan diracun, maka hasil otopsinya akan berbunyi bahwa meninggal karena racun, namun dalam kasus ini tidak ditemukan penyebab kematian. JPU telah hadirkan 2 ahli yakni ahli kedokteran kehakiman forensik yang telah menjelaskan dengan terang dan jelas hasil visum dan kesimpulannya, ” jelas Iwan.
BACA : Kasus Mutilasi Pasar Besar, Iwan Kuswardi : Belum Tentu Sugeng Pembunuhnya
“Sekali lagi bahwa kepala dipotong saat kondisi Post mortem. Satu lagi yakni ahli dari psikolog yang menjelaskan kerakteristik si pelaku. Ya memang benar psikolog bilang bahwa Sugeng tidak jujur dan tidak valid,” ujar Iwan.
Pihaknya memberikan saran kepada kepolisian, jika terjadi kasus seperti ini harusnya selain menghadirkan psikolog juga hatus dihadirkan pula psikiater.
BACA JUGA : Lanjutan Mutilasi Pasar Besar, Sugeng Mengaku “Membunuh” Saat Korban Tidak Lagi Bernafas
Kata Iwan, untuk menentukan kejiwaan mampu atau tidak seseorang bertanggungjawab terhadap perbuatannya harusnya adalah psikiater. Seperti halnya Sugeng saat ditanya jaksa jawabnya A ditanya kembali oleh hakim jawabnya B, ditanya sama penasehat hukumnya jawabnya C.
“Hal itulah yang perlu digali lagi. Orang yang waras memutilasi memiliki tujuan jelas. Orangnya dibunuh dulu kemudian dimutilasi untuk hilangkan jejak. Kalau kasusnya Sugeng, ada mayat kemudian dimutilasi. Selama 3 hari Sugeng berada di samping mayat. Ini waras atau tidak, apakah orang ini waras, harusnya digali lagi,” ujar Iwan Kuswardi. (gie/oso)