Surabaya
HoS Suguhkan Bukti Evolusi Manusia, Gandeng Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
Memontum Surabaya—-Untuk mendalami evolusi manusia dan perkembangan budayanya, sekaligus memperingati hari Museum Nasional yang jatuh pada Oktober, House of Sampoerna bersama dengan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran menggelar pameran bertajuk “Evolusi Kita”.
Gelaran pameran dimulai sejak Rabu (24/10/2018) hingga Senin (29/10/2018). Pameran ini diharapkan dapat memberi gambaran ataupun pemahaman mengenai perkembangan dan perubahan bentuk fisik tubuh manusia purba.
Ada sekitar 14 koleksi fosil yang terpajang, di antaranya Homo Erectus Arkaik. Dimana ciri fisik yang kekar dengan gigi geligi yang kuat. Kemudian berevolusi menjadi Homo Erectus Tipik, memiliki gigi geligi yang lebih kecil dan tengkorak yang lebih bundar. Selanjutnya Homo Erectus Progresif, pada jenis fosil ini banyak ditemukan di pulau Jawa pada 100. 000 tahun lalu. Tengkorak ini lebih bundar dibanding dua jenis pendahulunya.
Selanjutnya adalah Homo Sapiens Purba. Adalah fosil di antaranya yang paling sempurna, karena manusia modern yang hidup di masa kini merupakan bagian dari evolusi Homo Sapiens Purba.
Iwan Setiawan Dimas, Kepala Seksi Pemanfaatan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran mengatakan, fosil dipamerkan ini ada yang didapat secara alami (temuan masyarakat), dan temuan dari Sangiran sendiri.
“Sebenarnya fosil-fosil di pulau Jawa banyak yang masih tersebar, mengingat Jawa sendiri pulau tertua di Indonesia,” ujarnya.
Iwan juga menceritakan pada temuan seperti temuan yang terdapat di Banjar Rejo, Grobogan, Jawa Tengah. Baru-baru warga dikejutkan fosil dari hewan purba. diantaranya kerbau purba, gajah purba. Namun sayang karena minimnya pengetahuan, masyarakat merawat temuan ini dengan alat seadanya yang tentu saja ini dapat berpengaruh pada keutuhan fosil yang ditemukan.
Kembali pada pameran yang terselenggara, Iwan juga menunjukkan bahwa fosil yang terpajang tidak hanya melulu mengenai tulang manusia. Ada pula artefak yang merupakan alat bantu manusia untuk bertahan hidup pada masa itu. Seperti kapak perimbas, serta bola batu yang sebagian besar terbuat dari batuan kalsedon.
Terkait penyebaran edukasi, sebenarnya Iwan bersama timnya sering mengadakan seperti ini. “Bila dihitung biasanya sampai 6 kali dalam setahun. untuk itu Ia berharap masyarakat juga ikut andil memberikan kontribusi positif dengan cara menjaga pelestarian situs Sangiran,” tutupnya. (tny/yan)