Pemerintahan
Inovasi Gentho Si Tama Trenggalek Raih Penghargaan Top 30 Kovablik Jatim
Memontum Trenggalek – Inovasikan isi perut (Rumen) kambing dengan limbah sekitar untuk pupuk dan pestisida organik, Inovasi Gentong Organik Aktualisasi Petani Maju (Gentho Si Tama) Kabupaten Trenggalek Raih Top 30 Kompetesi Inovasi Publik (Kovablik) Jawa Timur. Penghargaan untuk Kabupaten Trenggalek, itu diberikan langsung oleh Menteri PAN RB, M Azwar Anas, kepada Wakil Bupati Trenggalek, Syah Muhamad Natanegara, di Alun-alun Kireksogati, Kabupaten Madiun. Turut mendampingi, Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Meraih Top 30 karena Gentho Si Tama, ini dianggap menjawab permasalahan petani selama ini (pupuk dan pestisida semakin mahal). Dengan produksi sendiri, maka sarana produksi petani menjadi murah. Selain itu, karena organik diyakini kesuburan tanah membaik dan hasil produksi menjadi lebih sehat.
“Alhamdulillah, atas penghargaan ini. Kita ucapkan terima kasih kepada Dinas Pertanian dan Pangan, atas inovasi yang dibuat. Sehingga, ini berhasil mendapatkan penghargaan Top 30 Kompetesi Inovasi Publik (Kovablik) Jawa Timur,” ujar Wabup Syah, Kamis (08/12/2022) siang.
Atas raihan inovasi ini, dirinya juga berharap, agar inovasi-inovasi ini bisa diikuti Organisasi Perangkat Daerah (OPD) lain, di lingkup Pemerintah Daerah Kabupaten Trenggalek. “Semoga, ini bisa dipertahankan dan diikuti oleh OPD yang lain. Inovasi-inovasi yang dilakukan agar bisa diakui dan membawa manfaat khususnya untuk masyarakat Trenggalek,” imbuhnya.
Sementara itu, salah satu Kepala Bidang di Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Trenggalek, Imam Nurhadi, menerangkan Gentho Si Tama ini merupakan inovasi fermentasi rumen kambing yang tujuannya menjawab harapan petani terhadap asa petani atas pupuk dan pestisida yang semakin mahal. Selain itu juga bertujuan mengembalikan kesuburan tanah.
“Kita memanfaatkan rumen kambing (isi perut kambing) yang kita tempatkan dalam wadah gentong untuk kita fermentasi dengan limbah di sekitar kita utamanya limbah organik menjadi Pupuk Organik Cair (POC),” terang Imam.
Menurutnya, pada prinsipnya penggunaan POC dari rumen kambing, ini ditujukan untuk memenuhi mikro organisme tanah. “Arahnya, kita berbenah pada tanah dulu. Karena kondisi tanah saat ini akibat banyaknya pestisida yang masuk, kemudian juga pupuk non organik, mengakibatkan mikroorganisme tanah berkurang sehingga sifat biologi tanah menjadi kurang bagus,” jelasnya.
Baca juga :
- Hujan Deras Disertai Angin Kencang Sebabkan Pohon Tumbang di Dua Lokasi Kota Malang
- Kelanjutan Proyek WTP, Sekda Kota Malang Tegaskan Tunggu Persetujuan Lingkungan
- DPC PKB Trenggalek Kuatkan Konsolidasi Pemenangan Pilgub dan Pilbup 2024
- Pendapatan Pajak Kota Malang Triwulan III Lampaui Target, PBJT Mamin dan BPHTB di Angka Lebih 60 Persen
- Masa Kampanye Pilkada 2024 Bakal Jadi Perhatian Operasi Zebra Semeru
Sifat biologi tanah, sambungnya, akan berpengaruh pada tingkat kesuburan. Dengan inovasi Gentho Si Tama ini mikroorganisme menjadi baik dan sifat fisika tanah menjadi meningkat. Istilahnya fisik biologi tanah diperbaiki, sehingga tanah menjadi subur.
Tahun 2021 inovasi ini telah diterapkan di 40 titik (kelompok) yang tersebar dan hasilnya dapat dirasakan oleh petani. Perkembangan yang baik di tahun 2021, tahun ini jangkauan inovasi ini diperluas. Selain itu, juga mulai menyasar pada pupuk organik padat.
“Ending (akhir) dari Gentho Si Tama ini sebenarnya petani bisa membuat pupuk dan pestisida organik sendiri di rumah masing-masing. Sedangkan sementara ini, masih di tingkat kelompok tani dan Gapoktan,” kata Imam.
Cara mudah ini, tambahnya, hanya dengan menggunakan potensi di sekitar. Terutama, limbah dari perutnya kambing yang biasa dinamakan rumen, yang kemudian diolah menjadi dekomposer. Setelah menjadi dekomposer produk turunannya bermacam-macam, bisa untuk POC dan juga bisa pestisida nabati sebagai pengendali penyakit.
“Biasanya, petani membeli sarana produksi, biasanya 1 liter dengan harga Rp 60 ribu. Ini terbalik dengan Gentho Si Tama itu, uang Rp 60 ribu bisa membuat sarana produksi sebanyak 100 liter. Kemudian dengan produksi sendiri harapannya keberadaan pupuk organik di petani sangat melimpah. Dengan begitu kesuburan tanah dapat meningkat, ketahanan pangan terjaga serta dapat menuju pada tataran pangan sehat,” jelasnya.
Masih terang Imam, ada perubahan yang dirasakan petani setelah menerapkan inovasi ini. Yang pertama bisa menekan biaya produksi karena produksi pupuk dan pestisida sendiri dengan biaya murah.
Selanjutnya harga hasil produksi juga meningkat, nilai tawarnya lebih tinggi karena dianggap lebih sehat. “Harga gabah yang biasanya di bawah Rp 5 ribu perkilogram dengan hasil yang dianggap lebih sehat petani tidak mau melepas bila harga kurang dari Rp 5 ribu,” ujarnya. (mil/gie)