SEKITAR KITA
Kisah Hernowo Dalang Muda Asal Donomulyo Malang Selatan, Lestarikan Wayang Kulit Warisan Leluhur Nusantara
Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, apa tujuan kita dalam hidup ini?. Pastinya hidup bukan untuk sekedar lahir, menikah, melanjutkan keturunan, dan pulang kembali pada sang Pencipta. Itulah sekelumit pertanyaan yang ada dalam benak Hernowo muda. Terlahir dari keluarga biasa-biasa saja tanpa ada darah seni ndalang pada keluarganya, tapi ia mempunyai tekad untuk bisa menjadi seorang dalang, demi mewujudkan apa yang dicita-citakannya, melestarikan kesenian wayang kulit warisan leluhur nusantara. Kuncaraning budoyo anjayeng bawono. Seperti apakah kisahnya?…
Hernowo (45) merasa tertarik dengan kesenian wayang kulit karena wayang kulit merupakan kesenian adi luhung yang mengajarkan banyak hal. “Disitu banyak pengajaran tentang kehidupan dan juga tentang ketuhanan, bisa juga dikatakan kesenian wayang kulit itu adalah kesenian yang sangat komplit disitu ada seni ukir, seni rupa, seni suara, seni sastra dan termasuk gending juga,” ujar pria asal Dukuh Sumbergentong Utara, Desa Tempursari RT37/RW10, Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang ini.
Ketertarikannya dengan dunia pewayangan dimulai saat ia duduk di bangku SMP, akan tetapi karena rumahnya di pedesaan dan kurang mengerti sekolah dalang itu ada dimana akhirnya ia melanjutkan sekolah ke SMA Taman Siswa Donomulyo.
Selepas tamat SMA ia nekat belajar ndalang pada Ki Sutino Hardoko Carito dalang senior asal Eromoko, Wonogiri. Dari Ki Sutino inilah ia berhasil masuk ke sekolah pedalangan yang ada di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pada tahun 1995. Setelah dari Kasunanan barulah ia nyantrik atau berguru dalang pada Ki Haji Panut Darmoko, dalang asal Nganjuk.
Ia bercerita ketika belajar ndalang pada Ki Panut ada perasaan bangga dan juga takut, apalagi ketika ia disuruh menghafal lakon-lakon yang biasa dipentaskan di pagelaran wayang kulit. “Ki Panut orangnya sangat disiplin sekali, bisa dikatakan kalau mengenang (Alm) Ki Panut sebagai bapak, sebagai guru dan sebagai teman karena beliau sangat piawai mendalang dan Ki Panut satu-satunya dalang yang pernah keliling dunia pada saat itu. Diluar negeri saat itu belum ada gamelan, jadi Ki Panut keliling dunia masih memakai kaset janur,” kenangnya dalang yang juga pernah magang pada Ki Sudjito, dalang asal Jember ini.
Bagi pria yang juga nyambi sebagai pranata adicara temu pengantin itu, dunia pedalangan sangat menyenangkan dan bisa membuatnya larut apalagi saat banyak tanggapan. “Dengan mendalang saya merasa lebih hidup, juga dunia pewayangan itu bagi saya tempat rekreasi yang sangat menyenangkan, yang jelas kalau banyak job atau tanggapan bisa dapat hasil lebih atau berkecukupan, dengan pekerjaaan dalang tadi. Tapi walaupun kelihatannya itu tanggapan yang mahal, yang jelas hasilnya juga dibagi-bagi sama krunya (sinden dll,red),” urainya.
Ia pun berharap seni pedalangan atau wayang perlu dan harus dilestarikan karena banyak nilai-nilai yang terkandung didalamnya, dan itu dilakukan tanpa harus meninggalkan kaidah atau pakem yang sudah ada. Kendati saat ini penonton banyak suka wayang yang banyak limbukan dan gojek punakawan. Ia menganggap hal itu sah-sah saja (wayang banyak limbukannya) tapi ia juga berpesan agar seni pewayangan jangan menghilangkan kaidah pewayangan itu sendiri dan jangan melenceng dari tujuan awal wayang diciptakan.
Baginya prinsip seorang dalang itu adalah mengagungkan, melestarikan dan juga mengembangkan budaya wayang kulit. Sebagai pelaku seni pedalangan pasti ada berbagai alasan tapi ia sangat yakin kalau dalang itu pasti berpegang teguh pada suatu kaidah budaya wayang yang adi luhung. Yang jelas wayang harus tetap relevan sepanjang waktu dan juga sepanjang zaman.
Ada sedikit cerita yang membuatnya terkesan waktu mentas di Gedung Kesenian Oro-Oro Ombo, Kota Batu. Saat itu ia diundang oleh 18 penghayat keyakinan atau kepercayaan yang ada di Propinsi Jawa Timur. “Banyak para sesepuh/pinisepuh yang menemui saya pada saat itu dan juga memberi petuah-petuah tentang kehidupan. Seperti hidup itu haruslah seperti kereta api berjalan diatas relnya, orang di dunia ini hidup harus berjalan seperti pakemnya, pasti akan selamat,” jelasnya.
Ia berpesan bagi generasi muda yang mengembangkan seni budaya untuk melestarikan budaya wayang kulit ini dengan sepenuh hati. “Seni pewayangan itu banyak ajaran tentang kehidupan, dengan semua itu mari kita lestarikan budaya wayang kulit itu sendiri. Falsafah dalam wayang itu harus bisa dimengerti, dihayati, dan diresapi oleh generasi muda di seluruh Nusantara. Kuncaraning budaya anjayeng bawono, semoga budaya Jawa kondang diseluruh dunia,” pungkas dalang dengan nama panggung Ki Sabdo Harnowo ini. (vie/jun)