Kota Malang

Paham Bahaya AGP, Peternak Jatim Kendalikan Resistensi Antimikroba

Diterbitkan

-

Paham Bahaya AGP, Peternak Jatim Kendalikan Resistensi Antimikroba

Memontum Kota Malang – Selama ini, peternak merupakan salah satu pengguna antimikroba seperti antibiotik yang cukup tinggi dan berkontribusi dalam mempercepat perkembangan dan penyebaran resistensi antimikorba atau antimicrobial resistance (AMR) kepada keluarga dan masyarakat. Untuk itu, melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No 14/2017, pemerintah telah melarang penggunaan antibiotik sebagai pemacu pertumbuhan (Antibiotic Growth Promotor/AGP) pada pakan ternak yang efektif berlaku per Januari 2018.

Upaya ini dilakukan untuk mengendalikan penggunaan antibitiok pada sektor peternakan, sekaligus mendorong para peternak menghasilkan produk yang sehat untuk masyarakat. Para peternak yang tergabung dalam Pinsar Petelur Nasional (PPN) Cabang Jawa Timur, Pinsar Indonesia Cabang Jawa Timur, dan Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN), serta Komunitas Peternak Ayam Indonesia, menyatakan dukungan terhadap upaya pengendalikan resistensi antimikroba yang disampaikan dalam Sarasehan Peternak Unggas bertemakan “Beternak sehat dan tetap produktif di era bebas AGP untuk kontribusi pengendalian resistensi antimikroba”, di Hotel Santika, Jumat (16/11/2018) sore.

Para peternak se-Jatim

Para peternak se-Jatim

Kasubdit Pengawas Obat Hewan, Kementerian Pertanian drh Ni Made Ria Isriyanthi, Ph.D mengatakan, penggunaan antimikroba di sektor peternakan di Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan. Hasil survey penggunaan antimikroba (antimicrobial usage/AMU) yang dilakukan Kementerian Pertanian bersama FAO Indonesia pada tahun 2017 di 3 provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi unggas. “Hasilnya cukup mencengangkan, 81.4 persen peternak menggunakan antibiotik pada unggas untuk pencegahan, 30.2 persen peternak menggunakan antibiotik untuk pengobatan, serta masih ada 0.3 persen yang menggunakan untuk pemacu pertumbuhan,” jelasnya.

Senada dengan Ria, Ketua Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia, drh Tri Satya Putri Naipospos Hutabarat Mphill, sekaligus komisi ahli Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan menyampaikan, pada 2010 Indonesia merupakan negara nomer 5 pengkonsumsi antibiotik tertinggi di dunia. Tanpa adanya upaya pengendalian, posisi ini bakal menanjak menjadi posisi ke-4 pada 2030, dikarenakan populasi ternak Indonesia cukup tinggi, didominasi unggas. “Untuk mengganti AGP, peternak bisa menggunakan alternative lain, seperti Probiotik, Prebiotik, Asam Organik, Minyak Esensial maupun Enzim. Namun yang terpenting, peternak harus bisa menerapkan biosekuriti tiga zona dan beternak dengan bersih, termasuk melakukan vaksinasi dengan tepat. Tujuannya, agar unggas lebih sehat dan produktif, jauh dari penyakit dan infeksi,” terang Putri.

Sementara itu, Dr. Harri Parathon dari Komite Pengendali Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan menyebutkan, para peternak harus berperan aktif dalam mengendalikan bakteri yang kebal terhadap obat antimikroba. “Saat ini obat kolistin sebagai agen terakhir untuk memerangi bakteri yang resisten terhadap antibiotik terkuat pun, ternyata telah banyak dilaporkan tidak efektif lagi. Makin sering diberi antibiotik, bakteri makin bermutasi dan menjadi ganas. Demikian juga pada produk unggas yang dapat menyimpan residu, lalu masuk ke tubuh manusia ketika dikonsumsi. Ini sangat berbahaya,” jelasnya. (rhd/yan)

Advertisement
Advertisement
Lewat ke baris perkakas