Lumajang
Sikapi Kedaulatan Pangan, DPC HKTI Lumajang Nilai Kucuran Dana Lebih Terfokus ke Pendidikan dan Kesehatan
Memontum Lumajang – Dewan pakar HKTI Jawa Timur, Iskhak Subagio, menilai jika saat ini nasib petani sangat marginal dan cenderung dipinggirkan. Padahal menurutnya, petani sebagai penyangga tatanan negara Indonesia dan merupakan pahlawan pangan yang berjuang untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
“Di negara kita ini, sekarang masih dijumpai petani memiliki nasib yang tidak seindah yang dibayangkan. Krisis pangan merupakan issue penting, disamping juga krisis ekonomi. Hal ini, harus mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah,” terangnya kepada Memontum.com, Selasa (25/10/2022) tadi.
Menurutnya, pasca reformasi pertanian, masalah pertanian seolah bukan lagi menjadi urusan wajib. Sehingga, dana yang dikucurkan ke petani bukan pilihan wajib. Hanya kesehatan dan pendidikan, yang memiliki persentase wajib dalam proses penganggarannya.
Iskhak yang juga merupakan Ketua DPC HKTI Lumajang itu mengatakan, dengan dilepaskannya fungsi Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai stabilisator sembilan bahan pokok (Sembako), akhirnya sangat berimbas pada petani padi, jagung dan petani tebu. Karena lepasnya monopoli tersebut, harus dibayar mahal oleh rakyat yaitu naiknya harga bahan pangan, sementara daya belinya tetap. Hal ini, yang menimbulkan problem baru.
Dirinya mencontohkan, dari segi produktivitas, kini raihan petani sangat rendah. Contohnya, untuk 1 ha sawah hanya bisa menghasilkan 5 ,5 ton gabah kering, secara rata rata. Dari sini, analisa usaha taninya sangat rendah tingkat keuntungan petaninya.
Baca juga :
- Perumda Tugu Tirta Permudah Sambungan Baru untuk Masyarakat Kota Malang
- Berhasil Kendalikan Inflasi, Pemkab Jember Raih Penghargaan Nasional dan Jatim
- Pemasaran Pisang Mas Kirana Lumajang Miliki ‘Dekengan Pusat’ untuk Tembus Pasar Global
- Pj Wali Kota Malang Minta Peserta Pilkada Taati Peraturan Pemasangan APK
- Paripurna DPRD, Pjs Bupati Trenggalek Serahkan Nota Keuangan Raperda APBD 2025
“Untuk hidup layak saja, sangat sulit. Dengan angka produksi sekian petani hanya mampu mendapatkan sisa antara Rp 5 – 7 jutaan permusim. Diperparah, lagi dengan naiknya biaya produksi akibat kenaikan BBM bersubsidi dan juga kurangnya alokasi pupuk bersubsidi, pasti akan mengurangi penghasilan petani itu sendiri,” ujarnya.
Di Kabupaten Lumajang, kata Iskhak, kondisi tanah pertanian juga sangat kritis. Bahan organik lahan, di bawah 2 persen dari ambang batas 5 persen. Sedangkan PH tanah yang idealnya 7 sekarang hanya 3 – 4. Jika dibiarkan, maka tanah akan rusak dan tidak bisa ditanami.
Pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia, pun memperparah kerusakan kesuburan tanah, apalagi penggunaan pupuk cair (Sipramin) untuk tanaman tebu membuat tanah makin porus. “Lumajang sudah meluncurkan program aksi pemupukan organik dan benih unggul bersertifikat (Sigarpun Bulat), yang menitik beratkan pada pemakaian pupuk organik untuk pembenahan kesuburan tanah. Namun sampai saat ini, tidak terlapor progresnya secara nyata. Di lahan mana dan bagaimana perkembangannya. Ditambah lagi , dengan program Lumajang Bumi Organik, yang kesannya tidak ada progres dalam pelaksanaannya. Jadi, terkenal dengan slogan saja tanpa aksi nyata,” tegasnya.
Lebih lanjut dirinya mengkritisi pelanggaran LP2B yang sangat masiv dan terkesan adanya pembiaran. Makanya, pihaknya mengusulkan, di dalam Raperda Perlindungan Petani, harus ditambah sanksi yang jelas tentang pelanggaran hal di atas. Ditambah lagi, limbah dari kawasan perumahan modern juga langsung dibuang ke perairan tanpa mengalami treatmen khusus. (adi/gie)