Ngopi pagi
Corona, Mendadak Perhatian
SAYA kembali teringat ketika ada istilah mendadak dangdut. Artinya, mendadak dangdut itu, yang awalnya dulu gak suka dangdut, tiba-tiba menjadi suka. Entah dangdut sedang jadi trend, atau uji popularitas personal saja. Faktanya, saat itu banyak bermunculan artis dangdut, namun semendadak datangnya, secepat itu pula perginya.
Sama halnya dengan kondisi saat ini, ketika terjadi pendemi covid-19. Entah disadari atau tidak, sebenarnya banyak fenomena baru atau fenomena mendadak yang terjadi. Mendadak kampanye hidup sehat, mendadak masuk rumah lepas sandal, mendadak sering cuci tangan, mendadak waspada dan mendadak perhatian.
Kali ini yang saya tulis adalah mendadak perhatian, yang saya anggap mewakili mendadak lainnya. Ini pun berdasarkan pengalaman saya sendiri. Bukan berdasarkan olah kata, atau guyon tumon. Karena saya juga tidak mau terseret ke fenomena mendadak juga.
Sejak tahun 1992, saya kuliah di Unair. Saya yang berasal dari kota kecil, yaitu Kecamatan Lawang Kabupaten Malang, saat itu dipandang sebagai mahasiswa yang gagap sosial. Wajar saja karena saya pemuda asal kota kecil, yang masuk ke kota besar, Surabaya. Kota terbesar kedua setelah Jakarta. Sementara saya, arek ndeso begitu.
Saya akui, saya butuh adaptasi dengan lingkungan sekitar. Terutama iklim dan udara Surabaya. Aromanya beda dengan aroma alam di kampung saya. Kabut pagi juga terasa lengket di kulit lengan. Panas siang, sangat terik dan menyengat. Suhu lingkungan tinggi, sehingga sepanjang hari kulit berkeringat. Apalagi kalau naik motor, dari kampus Fisip ke THR kemudian ke tempat kos di Jl Srikana, wajah pasti penuh debu yang nempel di keringat.
Karena itu, selama saya di Surabaya, selalu pake helm fullface dan masker. Masker? Ya masker. Kenapa heran? Karena saat itu belum ada namanya pemerintah mewajibkan pake masker. Helm saja masih banyak yang tidak pakai. Masker saya sudah modis, ada yang warna merah, hijau, biru, hitam, kuning dan orange. Bahkan udeng juga saya pakai masker.
Tapi saat itu, namanya lebih keren, yaitu bandana dan scraft. Apa sebab? Karena saya gak kuat dengan debu dan polusi udara Surabaya. Rasanya lengket di lubang hidung. Makanya kemana-mana saya selalu bawa bandana atau scraft atau tutup hidung. Tapi kebiasaan saya ini, nyaris membawa petaka di sekitaran tahun 1999. Saat itu meledak isu ninja, semua kampung siaga, warga mengawasi gerak-gerik orang asing. Termasuk helm fullface, wajib dilepas saat masuk kampung.
Ndilalah saat itu saya pulang ke Lawang, karena sudah lulus kuliah dan mulai pindahan kos. Maka motor saya bawa pulang. Tiba di jalan sebelah kecamatan Lawang, saya dicegat warga setempat yang sedang jaga di gang belakang kecamatan. Saya pikir, ada kecelakaan atau kejadian lain. Saya dihentikan, disuruh buka helm fullface dan disuruh lepas masker. Supaya wajah bisa dikenali. Sempat bersitegang juga karena ada yang minta KTP saya. Untungnya saat itu ada seorang warga yang tahu jika saya sering main ke rumah teman saya di seputaran kecamatan Lawang. Hingga cegatan pun menjadi acara ngopi.
Nah ketegangan semacam itu, sudah terasa saat ini. Jalan-jalan kampung ditutup. Kalau tahun 1999 cegatan ninja, kalau sekarang kampung lockdown. Lebih kerenlah. Pos kamling aktif lagi. Bahkan kewaspadaan terhadap mobil bernopol luar kota pun meningkat. Teman saya, yang rumahnya di Merjosari Dinoyo, saat silaturahmi di sebuah kawasan di Kota Batu, sempat didatangi Ketua RT dan beberapa warga. Pasalnya, plat nopolnya L.
Padahal setiap hari dipakai, selama ini tidak ada yang perhatian. Nah Sabtu (18/4/2020) ketika sholat subuh, ketegangan sosial menimpa saya sendiri. Ketika mau berangkat ke masjid, saya sudah merasakan sesuatu. Maka saya pun bawa masker, sajadah dan hand sanitizer. Lha dalah, terjadi beneran. Di pintu masuk tertulis peringatan wajib pakai masker dan bawa sajadah.
Bahkan karena saya belum pakai masker saat di tangga, marbot masjid mengejar saya dan menanyakan mana masker dan sajadah saya. Setelah saya tunjukkan sajadah dan bandana milik saya, marbot pun membolehkan saya masuk masjid. Bagaimana jika tidak bawa masker dan sajadah? Boleh sholat tapi di teras masjid.
Kondisi ini mungkin yang menurut jangka Jayabaya adalah wolak-walike jaman. Selang 21 tahun dari tahun 1999, terbalik kondisinya. Saat itu, orang pakai masker dicurigai, dihentikan disuruh melepas. Tak peduli apapun alasannya, sakit atau tidak. Sedang flu atau tidak, pokoknya masuk kampung, wajah harus terlihat jelas. Kini di tahun 2020, terbalik. Masker diwajibkan. Tak peduli punya duit apa tidak, untuk beli masker. Tak peduli status soslal, pekerjaannya apa, sekolah dimana, mau kemana, ada dimana, bahkan muncul kabar hoax jika tak pakai masker akan ditahan polisi. Sebegitu wajibnya masker saat ini, hingga mendadak perhatian ataukah ketakutan yang berlebihan?.
Bagaimana tidak berlebihan jika mencegah virus dengan mblokade jalan kampung mendirikan dinding batako. Ada orang batuk, pilek, bersin dipandang dengan penuh curiga. Seseorang nyetir mobil sendirian wajib pakai masker. Bahkan ada pejabat di depan publik menyatakan jika suami istri gak boleh boncengan, tapi kalau naik ojek boleh. Terjadi bersitegang, antara suami dan aparat, yang menolak istrinya disuruh pindah duduk di belakang. (*)
Penulis :
Januar Triwahyudi
Pemred Memontum.com