Lumajang
Penggunaan Bahasa Asing pada Simbol ”I Like Lumajang“” Dipertanyakan
Memontum Lumajang — I Like Lumajang yang menjadi simbol dan yang kabarnya sudah diperdakan selayaknya ditinjau kembali. Hal ini disampaikan tokoh muda Lumajang Ikbal Zamzami SH. Menurutnya simbol I Like Lumajang tidak mengedukasi dan tidak sesuai dengan budaya. Ikbal Zamzami SH yang juga seorang Pengacara ini berpendapat bahwa dalam undang-undang dasar 1945 sudah jelas mengatur tentang itu.
“Kenapa tidak memakai bahasa Indonesia saja atau bahasa daerah, kenapa mesti bahasa asing,” kata Ikbal, pada Memontum.com, Minggu (18/3/2018).
Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan sekaligus bagian dari identitas bangsa. Penggunaannya luas, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Simbol suatu daerah seharusnya bisa mengedukasi agar masyarakat kita selalu belajar dalam menjalankan komponen keterampilan berbahasa Indonesia, yakni membaca, menulis, berbicara, dimulai dari keterampilan itu, kita akan mencoba mengembangkan daya imajinasi, kreasi masyarakat.
Karena Bahasa itu mampu menjadi satu kekuatan yang sanggup menghimpun serpihan sejarah Nusantara yang beragam sebagai bangsa besar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berarti, bahasa Indonesia merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bahasa Kita adalah Simbol yang menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cermin kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan demikian, bahasa tidak hanya sekadar pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara.
Selain itu Kekayaan bangsa Indonesia juga diakui dengan penggunaan bahasa daerah yang beraneka ragam. Secara konteks pemahaman, bahasa daerah menjadi simbol dari budaya daerah yang harus dipahami dan dipraktekkan sebagai identitas masing-masing daerah.
“Melihat praktek semacam ini, Saya melihat bahasa daerah sudah mulai dilupakan sehingga pelestarian budaya sudah tidak mampu terkendali. Ironis memang ketika penggunaan bahasa daerah sudah tergantikan dengan penggunaan bahasa asing,” jelas Ikbal Zamzami.
Masih menurutnya, Kondisi demikian menuntut kita untuk tetap memandang kebahasaan sebagai simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas persatuan. Yang dimaksud dengan “asas persatuan” adalah bahwa penggunaan bahasa sebagai sarana pemersatu bangsa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan, seni dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Bahasa yang harus kita junjung tinggi dan kuasai tampak asing di negeri sendiri. Hal ini akan menjadi bumerang bagi remaja yang menjadi penerus masa depan bangsa” Ucapnya.
I Like Lumajang ini menjadi momok tersendiri, lunturnya nilai-nilai bahasa persatuan bangsa yaitu bahasa Indonesia. Jadi, kita harus berpegang teguh kembali dalam mengembalikan identitas bangsa. Selayaknya penggunaan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan asing harus digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi yang tepat.
Kita sebagai anak bangsa seharusnya bangga menjadi Warga Negara Indonesia karena memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa Indonesia yang mampu mendukung budaya bangsa dengan perkembangan berkelanjutan terhadap ilmu pengetahuan. Kita patut berbangga karena tidak semua bangsa di dunia ini mempunyai bahasa nasional yang dipakai secara luas dan dijunjung tinggi. bahasa nasional yang dapat menyatukan berbagai suku bangsa yang berbeda dan merupakan kebanggaan bagi bangsa Kita. (adi/nay)