Kota Malang
Miris Kasus SDN Kauman 3, Ratusan Massa Luruk Dinas Pendidikan
*Tuntut Adili Pelaku dan Dampingi Korban Kekerasan Seksual
Memontum Kota Malang—Sejumlah massa yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Tolak Kekerasan Seksual meluruk kantor Dinas Pendidikan Kota Malang, Senin (18/2/2019). Massa yang berasal dari beberapa gabungan organisasi, diantaranya HMI, PMII, MCW, FMPP, GMKI, PMKRI, WCC, LPA, dan lainnya, menuntut penyelesaian kasus pelecehan dan kekerasan yang menimpa sejumlah siswi SDN Kauman 3 Kota Malang.
“Kami sebagai mahasiswa merasa terpanggil untuk membela dan menyuarakan hak adik-adik kami, terutama kaum perempuan. Kami juga menjadi bagian pendidikan di Kota Malang. Kami ingin mengembalikan integritas dunia pendidikan. Penanganan kasus kekerasan seksual tidak dapat dilakukan dengan serta merta memberikan maaf dan rehabilitasi terhadap pelaku. Untuk itu, kami menuntut Dinas Pendidikan bertanggung jawab menyelesaikan kasus ini, dan memberikan pendampingan kepada korban dan keluarganya,” teriak Kurniati Bayou, orator dari PMKRI.
Dalam aksi tersebut, massa membawa sejumlah spanduk dan plakat bertuliskan guru itu mendidik bukan mencabuli; sekolah harus di tempat yang aman bagi anak; kembalikan integritas pendidikan; lawan kekerasan seksual, sudah 20 anak butuh korban lagi?, dan lainnya.
Senada, Ketua Woman Crisis Center (WCC) Dian Mutiara, Hj. Sri Wahyuningsih (73), mengaku miris atas kejadian ini. Pasalnya, KUHP belum bisa menjamin keamanan kaum perempuan dari kekerasan seksual. Bahkan angka korban terus bertambah seperti fenomena gunung es. Dalam kasus ini dugaan korban sejumlah 20 siswi SD merupakan hal mencekam yang mengancam pelajar perempuan. “Kami dan LPA Kota Malang telah mengupayakan bukti kuat, minimal 2 bukti kuat untuk menjerat pelaku dalam hukum pidana. Kami juga mempertanyakan dasar hukum karantina oleh Diknas pada pelaku ini apa? Kebijakan ini cukup menyita perhatian kami sebagai aktivis perempuan,” jelas mantan dosen senior FHUB ini.
Sementara itu, Aktivis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Malang, Yuyun Kartikasari, mengatakan kasus ini menambah catatan kasus kekerasan kepada anak. Hal ini sekaligus menjadi PR agar RUU PKS segera disahkan. “Kami sebagai orang tua merasa miris atas kejadian ini. Ada dugaan beberapa pihak yang menekan disertai ancaman agar korban dan saksi korban tidak melapor, dan diselesaikan secara internal. Kami sedang mengumpulkan sejumlah bukti kuat agar masalah ini segera ditangani, dan pelaku dihukum berat,” ungkap Yuyun.
Massa mengajukan beberapa tuntutan, diantaranya menuntut Dinas Pendidikan memecat pelaku kekerasan seksual, menginisiasi pendidikan seksual sebagai salah satu mata pelajaran, menyediakan ruang aman untuk melaporkan kekerasan yang dialami; menuntut DPRD Kota Malang memasukan perlindungan siswa terhadap kekerasan seksual (KS) didalam perubahan perda pendidikan; menuntut Polres Kota Malang menuntaskan segera proses hukum pelaku; menuntut pemerintah daerah memberikan penyataan publik atas pelecehan dan kekerasan seksual yang terjadi, dan lainnya.
Merespon desakan massa, Kepala Dinas Pendidikan Dra. Zubaidah, MPd, merespon keinginan massa dengan memberikan penjelasan, dan menandatangani tuntutan. “Pelaku sudah kami tindak tegas, selain tidak mengajar atau menonjobkan pelaku, hak sertifikasinya kami cabut. Kami beri tindakan sesuai UU no. 53/2010 tentang disiplin ASN.
Terkait keputusan hukum, kami serahkan pada kepolisian. Jika sudah ada keputusan secara hukum, kami melalui Komisi ASN akan memberhentikan pelaku. Kami bergerak dan mengambil keputusan sesuai dengan peraturan yang ada. Jadi tidak bisa tergesa-gesa,” beber Zubaidah.
Zubaidah telah memberikan himbauan kepada semua kepala sekolah, agar kasus ini tidak terulang kembali. Diknas mengajak kepala sekolah dan kalangan pendidik agar segera melaporkan dan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan, untuk melakukan pencegahan dengan deteksi dini, sehingga jika terjadi permasalahan dapat segera terselesaikan. “Kami juga siap mendampingi para korban jika dibutuhkan pendampingan. Pun dugaan sejumlah korban, kami melakukan pengelompokan dan memberikan pendidikan psikologi di ruang khusus, agar siswi yang bersangkutan tidak diketahui identitasnya dan tidak malu,” tandas Ida, sapaan akrabnya. (adn/yan)