Surabaya
BEM Stikosa-AWS Rayakan Dies Natalis Dengan Diskusi Publik
Memontum Surabaya——-Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (Stikosa-AWS) merayakan Dies Natalisnya yang ke 13 tahun dengan cara yang berbeda, yakni melakukan kegiatan Diskusi Publik yang bertajuk “Perjanan Akhir Tahun Jurnalisme”. Dengan membahas kebebasan pers di era 4.0, pihak BEM menghadirkan tiga narasumber yang berkompeten dalam pers, yakni Masitoh Indriani Pakar Hukum dari Universitas Airlangga, Febriana Firdaus seorang freelance investigative journalist, Wisnu Prasetya Utomo sebagai Pengamat Media.
Kegiatan yang bertujuan sebagai wadah merefleksi kampus Komunikasi berbasis jurnalis, hal ini disampaikan oleh Anggadia Muhammad Presiden BEM Stikosa-AWS. BEM yang ingin menjadi jembatan atas keresahan di dalam AWS, yang dirasakan selama satu tahun ini (2018) masih banyak masalah pers yang belum terselesaikan, dan menjadi wadah pembelajaran bagi mahasiswa.
“Tujuannya mencari benang merah. Melihat masih bingung, nyatanya kita dibilang masih terikan dengan Undang-Undang ITE, dibilang surplus kebebasan,” kata Angga sapa akrabnya, Jumat (7/12).
Menurut Angga, di dalam kebebasan pers masa kini masih terdapat jurnalis yang melanggar UU ITE. Yang paling menyorot perhatiannya adalah Pasal pencemaran nama baik, ada pada UU nomor 11 tahun 2008.
“Yang paling banyak sampai saat ini pencemaran nama baik. Walaupun tulisan yg dimuat di karya jurnalis sudah sesuai kode etik jurnalis dan juga Undang-Undang Pers,” ujarnya.
Sementara itu, Wisnu Prasetya Utomo seorang pengamat media dan salah satu narasumber yang hadir berpendapat jika kebebasan pers Indonesia sendiri sudah dalam fase yang menghawatirkan. Sebab, menurut Wisnu, tentunya dengan beberapa pertimbangan dan banyaknya ancaman kriminalitas terhadap wartawan juga masih adanya pembatasan terhadap kebebasan pers.
“Seperti di Papua, kemudian banyaknya persekusi terhadap wartawan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Itu yang membuat saya mau bisa mengkategorisasikan bahwa kebebasan pers kita sedang dalam ancaman, dan itu juga di afirmasi oleh teman-teman jurnalis juga,” jelasnya.
Menurut data dari AJI yang dikutip oleh Wisnu, mengenai debat laporan tahun 2018 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap wartawan terus meningkat. Oleh sebab itu, pengamat media ini memperhatikan hal tersebut di Indonesia, dimana kondisj kebebasan pers yang sedang dalam fase yang menghawatirkan.
“Apalagi kalau kita melihat menjelang pemilihan umum itu biasanya ancaman kekerasan terhadap wartawan itu akan meningkat, tidak hanya dari kelompok-kelompok masyarakat, tetapi juga intervensi dari pemiliknya. Itu yang mesti diperhatikan kalau bicara soal kebebasan pers,” tambahnya.
Masitoh Indriani Pakar Hukum dari Universitas Airlangga menyampaikan, jika pada alasan persekusi terdapat 80 persen. Seperti kasus HBS sebanyak 32 persen, Agama tujuh persen, Agama Islam empat persen, Pemerintah atau Presiden Joko Widodo sebanyak tujuh persen, dan lainnya sebanyak 22 persen.
“Catatannya, persekusi tidak hanya dilakukan oleh pendukung yang kontra dengan Pemerintah tetapi juga oleh pendukung pro Pemerintah,” jelasnya. (est/yan)