Kabar Desa
Berharap Hujan segera Turun, Warga Desa Jajar Trenggalek Gelar Tradisi Tiban
Memontum Trenggalek – Cara unik dilakukan masyarakat di berbagai daerah, dalam meminta agar hujan bisa segera turun. Tidak terkecuali, seperti di Kabupaten Trenggalek. Ritual Tiban, begitu masyarakat di Kota Keripik Tempe menyebutnya.
Ritual atau Tari Tiban, ini rutin dipertunjukkan ketika musim kemarau yang cukup panjang. Tujuan diselenggarakannya Ritual Tiban, yakni untuk memohon turunnya hujan.
Saat ini, kesenian Tiban tengah digelar warga Desa Jajar, Kecamatan Gandusari, Kabupaten Trenggalek. Mereka berharap, kekeringan yang melanda sembila desa dan enam kecamatan di bumi Minak Sopal, ini bisa segera berakhir.
Ratusan warga, pun berbondong-bondong memadati lapangan Desa Jajar, yang telah disulap menjadi arena pertarungan. Warga ingin menyaksikan dua orang peserta Tiban, saling mencambuk hingga mengakibatkan luka berdarah.
Dalam pelaksanaannya itu, ada dua orang yang masing-masing dipimpin seorang wasit. Dalam Ritual Tiban, wasit ini disebut dengan Landang atau Plandang.
Ritual Tiban juga selalu diiringi alunan music gamelan dengan komposisi lengkap. Terdiri dari kendang, kentongan, dan gambang laras. “Dalam memainkannya, masing-masing peserta diberi kesempatan untuk mencambuk tiga kali, secara bergantian. Peserta hanya boleh mencambuk bagian perut hingga pundak. Hal ini dilakukan untuk menghindari cidera yang berakibat fatal,” ucap Kepala Desa Jajar Imam Mukaryanto Edy, Selasa (03/10/2023) tadi.
Cambuk yang dipakai peserta Tiban, itu terbuat dari lidi aren dengan ujung tajam. Dengan iringan kendang, setiap sabetan keras dan cepat akan menimbulkan luka sayat memanjang pada kulit yang terkena.
Baca juga :
Meski begitu, selama pertandingan berlangsung tidak ada peserta mengeluh kesakitan atau lari meninggalkan arena pertandingan. Dalam Tiban, tidak berlaku kalah dan menang. Juga, melarang peserta menyimpan dendam.
“Tidak ada obat khusus yang digunakan untuk mengobati luka cambuk Tiban. Biasanya hanya diberi minyak kapak agar lukanya tidak mengeluarkan darah lagi,” imbuhnya.
Kesenian Tiban sendiri, merupakan peninggalan nenek moyang yang dilakukan secara turun-temurun. Biasanya, kegiatan ini digelar pada saat kemarau panjang dan kekeringan terjadi di mana-mana.
Darah yang mengucur dari luka peserta Tiban, ditambah doa yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, diharapkan bisa menurunkan air hujan. Dalam bahasa Jawa, Tiban berasal dari singkatan Tibo Udan atau turun hujan. Tradisi ini, juga berlaku di beberapa daerah lain dengan nama yang berbeda-beda. Misalnya di masyarakat Padhulungan, yakni Lumajang dan Jember, kesenian Tiban bernama Ojung atau Ujung.
Menurut Edy, kesenian Tiban akan terus digelar hingga hujan mengguyur wilayah Trenggalek. “Kegiatan ini rencananya akan terus dilakukan hingga Trenggalek turun hujan,” tutur Edy.
Pagelaran Tiban akan selesai bilamana waktu sudah petang. Sebab, rentang waktu pertandingan tersebut dirasa sudah cukup. Namun, apabila hujan tak kunjung datang, maka pagelaran Tiban akan digelar kembali berselang seminggu setelah pagelaran pertama dan akan terus berlanjut setiap minggunya hingga hujan turun.
“Tradisi Tiban ini juga merupakan salah satu khazanah kekayaan tradisi Nusantara yang harus dilestarikan sebagai warisan adiluhung dari leluhur. Meskipun di zaman serba canggih ini konsepsi masyarakat telah berpindah dari yang tradisional ke modern, bukan berarti tradisi Tiban harus ditinggalkan,” paparnya. (mil/sit)