Surabaya
Pakar Unair Tanggapi Proses Pemilu di Indonesia, Demokrasi Jangan Sampai Gaduh
Memontum Surabaya—Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden pada 17 April 2019 mendatang mendapat banyak perhatian dari seluruh masyarakat Indonesia. Berbagai isu bertebaran untuk menaikkan popularitas masing-masing Pasangan Calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memenangkan hati rakyat Indonesia.
Mengenai hal itu, Nurul Barizah S.H., LLM., PhD., selaku Dekan Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) menilai dalam masa kampanye kedua paslon dan tim sukses harus mentaati aturan pemilu yang telah ditetapkan.
“Tidak dibenarkan jika salah satu paslon memanfaatkan fasilitas dan kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan tertentu dan menyukseskan dirinya sebagai calon presiden dan wakil presiden,” kata Nurul, Kamis (28/2).
Ketika memasuki masa kampanye, kata Nurul, idealnya seorang presiden yang masih menjabat harus cuti. Hal tersebut untuk menghindari abuse of power. Menghindari penyalahgunaan wewenang dan kesempatan.
Tidak dalam kerangka untuk membela paslon satu atau paslon lainnya. Nurul berharap kedua paslon dapat saling menjaga satu sama lain untuk mencegah perpecahan di masyarakat akibat perlakuan yang tidak adil.
Menurut Nurul, ketika ada pelanggaran dari tim sukses salah satu paslon kemudian tidak diproses, maka pelanggaran dari paslon lain menjadi tidak diproses juga. Namun baru bisa dikatakan adil jika pelanggaran yang dilakukan oleh kedua paslon diproses.
“Tidak kemudian ketika karena petahana, lalu memiliki power dan sebagainya kemudian tidak diproses dan mengakibatkan pihak tidak petahana juga tidak diproses. Mestinya kita kembalikan pada koridor hukum, semuanya harus diposes sesuai ketentuan hukum yang berlaku saat pelanggaran dilakukan,” paparnya.
Nurul sangat memprihatinkan kondisi pemilu saat ini. Terutama terkait hoax, informasi yang tersebar dan kurang terjamin keakuratannya.
Menanggapi hal tersebut, menurut Nurul, sebaiknya kedua paslon dan para tim sukses perlu duduk bersama untuk mendiskusikan hal yang lebih besar dari sekedar saling meningkatkan popuritas masing-masing.
“Melainkan mendiskusikan kepentingan negara yang lebih besar. Karena tidak hanya hoax, kondisi anak bangsa saat ini juga perlul untuk diperhatikan. Mengingat, kecenderungan mereka yang ketika memberikan saran dan komentar di ruang publik, bahasa yang digunakan sangat tidak mencerminkan bahwa kita adalah masyarakat Indonesia yang punya tepo seliro, kehalusan budi bahasa dan sebagainya,” rincinya.
Mereka, imbuh Nurul, memperlakukan senior dan tokoh dengan panggilan yang tidak layak akibat perbedaan kepentingan dalam politik. Hal tersebut tentu sangat tidak bagus.
“Mestinya, mari kedua paslon, tim sukses dan seluruh pihak yang berkepentingan duduk bersama untuk menjaga dan mengawal demokrasi hingga menjadi demokrasi yang bermartabat,” pesannya.
Karena jika tidak demikian, maka apalah esensi demokrasi dan pemilu namun tidak bisa membangun masyarakat yang beradap dan lebih maju. Masyarakat yang lebih beradap dimulai dari sikap dan perilaku ketika menyikapi permasalahan.
“Boleh berbeda tapi jangan menyebar isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan jangan sampai demokrasi kita ini gaduh,” tutupnya. (sur/ano/yan)