Kota Batu
Petani Batu Pilih Cara Konvensional Dari Pada Sistem Organik
Memontum Kota Batu — Program pertanian sistem organik Pemkot Batu ternyata belum mampu dimaksimalkan oleh para petani. Padahal program ini sudah berjalan hampir 10 tahun, bukan hanya itu, anggaran yang dikucurkan pun untuk memaksimalkan sistem organik ternyata tidak terbukti secara nyata kepada petani.
Dari pantauan, para petani masih banyak yang memakai sistem non organik/konvensional, adapun petani yang menanam secara organik namun hanya coba-coba. Sekitar 5 persen dari lahan yang difungsikan untuk tanaman organik, sisanya tetap dengam sistem non organik/masih memakai pupuk pestisida.
Sahek Purwanto misalnya, petani asli Dusun Sumbersari Desa Sumberjo kepada Memo X, banyak tantangan dalam sistem organik seperti biaya yang tidak sedikit, waktu panen lebih lama dll. Makanya pertanian konvensional tetap menjadi yang utama agar uang/biaya bercocok tanam segera bisa panen dan diputar untuk biaya hidup.
” Pertanian konvensional lebih nampak hasilnya. Apalagi harus beralih ke pertanian organik, butuh penyesuaian. Petani saat ini banyak rugi jika langsung beralih ke pertanian organik. Belum lagi bayar sewa tanah seluas 1500 meter ini,” ujar dia, Kamis (3/5/2018).
Ia menguraikan, untuk sewa lahan yang lokasinya dibelakang Hotel Orchid misalnya, dia harus mengeluarkan biaya tidak murah, per tahun ia jarus membayar Rp 1,5-2,5 juta. Belum lagi untuk biaya operasinal dan perawatan dalam satu kali masa tanam hingga panen mengeluarkan uang sebesar Rp 1,6 juta.
“Jumlah itu untuk menanam sawi daging. Saat panen per kilogram dijualnya seharga Rp 2000. Itu harga tertinggi, kalau pasar kelebihan harga bisa Rp 700 per kilogram. Petanikan rugi kalau harga murah. Ya dijalani saja mas, kalau harga tinggi ya untung, kalau harga murah ya rugi,” keluh dia.