Kota Malang

Sebelum Share, Kenali Hoaks dan Fake News

Diterbitkan

-

Para narasumber bersama jajaran civitas akademika UB. (rhd)

Memontum Kota Malang—Fake news merupakan berita atau informasi yang salah. Berita tidak benar disampaikan dari sebuah berita yang bersumber dari sebuah media yang resmi. Fake news ini berasal dari media massa. Sementara, hoaks merupakan sebuah informasi yang belum jelas kebenarannya dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya yang bersumber dari mulut ke mulut dan beredar ditengah masyarakat.

“Cek fakta yang tengah digalakkan sejumlah media ini, bisa mengurangi ketidakbenaran atau kesalahan informasi yang beredar di masyarakat. Cek fakta melihat sebuah informasi melalui kejelasan metodologi, responden hingga sumber primer yang mengeluarkan informasi. Jika data yang disampaikan tidak valid, maka dapat dipastikan nilai informasi tersebut adalah hoaks,” jelas Senior News Research Tirto.id, Yuti Ariyani Fatimah, dalam Seminar Internasional bertajuk “Technology and Postcoloniality: Historical and Social Studies of Technology on Southeast Asia” di Gedung Widyaloka Universitas Brawijaya, Jumat (25/1/2019).

Ketua Pelaksana Kegiatan Anton Novenanto. (rhd)

Ketua Pelaksana Kegiatan Anton Novenanto. (rhd)

Yuti Ariyani Fatimah, memaparkan perbedaan hoaks dan fake news. (rhd)

Yuti Ariyani Fatimah, memaparkan perbedaan hoaks dan fake news. (rhd)

Yuti menambahkan, perbedaan lainnya, penyebaran hoaks dilakukan oleh masyarakat biasa atau disebut dengan lay person. Contohnya, kasus hoaks yang disebarkan oleh Ratna Sarumpaet di tahun 2018. Untuk dapat mengetahui kebenaran pemberi informasi, Yuti menilai harus ada bukti lain sebagai pembanding. Hal itu, akan menguatkan informasi yang disampaikan ke media dan publik.

“Ketika itu, banyak pihak yang ikut mempublikasikan kabar tersebut hingga ke berbagai media. Dan akhirnya, kan ada bukti baru, ternyata apa yang dia (Ratna Sarumpaet) bicarakan itu bohong,” terang Yuti.

Menurutnya, kasus Ratna Sarumpaet ini menjadi pembelajaran dan tonggak pada masyarakat dan media dalam melakukan upaya verifikasi. Gerakan cek fakta yang saat ini tengah disosialisasikan oleh media, diharapkan mampu memberikan informasi pada masyarakat terkait kebenaran.

Advertisement

Acara yang diinisiasi Center for Culture and Frontier Studies Universitas Brawijaya (CCFS UB) juga menghadirkan Dosen School for History of Philosophy of Science, Universitas Sydney Australia, Hans Pol, dan Dosen Antropologi Universitas Brawijaya Hatib Abdul Jadur.

Sementara itu, dosen Antropologi UB, Hatib Abdul Jadur mengatakan, teknologi merupakan sebuah media yang bisa digunakan oleh negara dan masyarakat untuk memproduksi informasi. “Sebenarnya teknologi itu hanyalah sebuah media penyedia informasi. Sedangkan informasi palsu atau hoax itu muncul bukan karena teknologi. Sebab sebelum munculnya teknologi, hoax sendiri sudah banyak bermunculan di masyarakat atau negara,” terangnya.

Senada dengan Hatib, Ketua Pelaksana Kegiatan Anton Novenanto menambahkan, pemahaman masyarakat dalam melihat teknologi harus diperluas, karena teknologi tidak hanya dikaitkan dengan gadget seperti handphone, tetapi teknologi harus dimaknai sebagai sebuah teknik dalam melakukan sesuatu. “Teknologi jangan hanya dilihat dari sisi ilmu science saja, namun harus dilihat bahwa teknologi itu semacam teknik atau keterampilan seseorang dalam melakukan sesuatu untuk beradaptasi dengan lingkungan,” jelas Anton.

Anton Novenanto menambahkan, tujuan seminar ini untuk mengembangkan riset atau kajian teknologi dari perspektif sosial humaniora yang selama ini lebih banyak dilihat dari sisi teknis. “Tujuan akhir dari kegiatan kali ini adalah bisa menghasilkan buku yang menjadi pegangan study sosal humaniora di kawasan Asia Tenggara,” tandas Anton. (rhd/yan)

Advertisement
Advertisement

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker

Refresh Page
Lewat ke baris perkakas