Probolinggo
7 Warga Tionghoa Mohonkan Eksekusi SK Walikota
Memontum Probolinggo — Menindaklanjuti putusan Komisi Informasi Publik (KIP), Kuasa Hukum yang ditunjuk oleh tujuh warga Tionghoa datangi PN Probolinggo untuk mengajukan surat permohonan eksekusi terhadap SK (Surat Keputusan) Walikota Probolinggo, Senin (20/11/2017). Ini dilakukan karena pemegang SK Walikota tidak berhak menempati tujuh lahan dan rumah yang berlokasi di tempat berbeda di wilayah Kota Probolinggo.
Kuasa Hukum dan tim penasehat sudah mengantongi putusan Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Timur. Selain itu, pihak mereka juga memegang putusan Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur, yang merekomendasikan agar Wali Kota mencabut SK yang pernah terbit tersebut.
Beberapa kali upaya damai yang dilakukan Penasehat hukum pemohon, Davy Hindranata dan rekannya Sari Ristyawati, serta Jalil sebagai Hakim, tidak membuahkan hasil. Karena tidak ada jalan kesepakatan tersebut, maka kuasa hukum dari tujuh pemohon mengajukan permohonan ke PN Probolinggo, untuk mengekskusi SK yang sudah tidak berlaku tersebut.
“Sudah kami lakukan upaya damai tapi tidak ada hasil. Ya akhirnya upaya yang kami tempuh seperti ini. Karena upaya kami, selalu gagal. Pemkot selalu beralasan untuk menyerahkan SK kepada kami.”tandas Davy, yang di didampingi kedua rekannya.
Davy merasa heran, kenapa jalan meminta pencabutan SK penempatan lahan dan tempat tinggal yang dikeluarkan Wali Kota dipersulit. Padahal, kasus serupa juga pernah ada dan Pemkot Probolinggo mengabulkan permohonan pencabutan SK nya. Itu juga tanpa melalui proses yang dijalani klient Davy. Pemkot mencabut SK yang di keluarkan tersebut dan pemilik lahan dan kembali menempati tanahnya.
“Pernah juga terjadi di Probolinggo, dan kami ada contoh putusan wali kota yang mencabut SK Wali Kota Banadi Eko. Jadi pemilik lahan, tanpa prosedur seperti yang kami jalani sekarang ini bisa menempati lahannya lagi.”tambahnya sambil menunjukkan SK yang pernah di cabut.
Dari kasus tersebutlah Akhirnya, Ketujuh kliennya yang seluruhnya warga Tionghoa, mengadu ke Komisi Informasi dan Ombudsman RI perwakilan Jawa Timur pada tahun 2016, itu dilakukan karena upaya kliennya meminta SK yang menempati rumah dan tempat tinggalnya, tidak membuahkan hasil. Sedangkan alasan dari Pemkot sendiri, bahwa SK yang dikeluarkan pada tahun 2001, yang saat itu yang menjabat Wali Kotanya Banadi Eko, telah di cari kemana mana tidak ketemu.