Kabar Desa
Potensi Wisata Adat Nyadar
Punya Nilai Tradisi, Lebih Disukai Wisman
Memontum Sumenep – Nyadar adalah salah satu adat istiadat di suatu daerah Kecamatan Saronggi, Kabupaten Sumenep yang dilaksanakan 3 kali dalam 1 tahun. Nyadar tersebut merupakan salah satu bentuk rasa syukur para petani garam Desa Pinggir Papas, Marengan dan sekitarnya kepada para leluhur.
Tokoh pemuda Sumenep Fadal merespon dinamika pariwisata akhir-akhir ini. Sebab hal-hal yang berbau peninggalan sejarah, yang punya nilai historis lebih disukai khusunya bagi para wisatawan mancanegara (wisman).
Sehingga, upacara adat Nyadar punya nilai historis yang kuat dan itu potensial untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Sumenep. Diharapkan masyarakat ikut terimbas positif dari peningkatan pendapatan dari banyaknya jumlah wisatawan yang datang.
“Upacara atau ritual Nyadar sudah diangkat dalam kalender pariwisata Kabupaten Sumenep melalui Dinas Pariwisata, Kebudayaan,Pemuda dan Olahraga) Sumenep. Ini bagus demi kesejahteraan warga Sumenep sehingga bias terangkat dari sisi ekonominya juga. Karena wisatawan merasa puas dengan peson wisata bernilai sejarah itu,” pungkas Fadal.
Menurutnya, terangkat dari kisah leluhur yaitu Mbah Anggasuto, beliau merupakan salah satu tokoh yang berperan sebagaimana layaknya pendekar. Anggasuto adalah penyelamat bagi orang-orang Bali yang terdesak ketika kalah perang melawan Keraton Sumenep.
Anggasuto sempat merasa kebingungan dengan kenyataan hidupnya. Pasalnya, pada lingkungan yang ditempati oleh Anggasuto sangat minim untuk ia bisa mencari sumber hidup atau mata pencaharian baginya. Karenanya di daerah tersebut adalah pesisir pantai yang bisa dibayangkan bagaimana kondisinya konon.
Kendati demikian, pihaknya melakukan istikharah, berharap agar hidupnya menemukan keterangan dalam mencari nafkah untuk bertahan hidup. Seterusnya Tuhan mengabulkan doanya dan memberikan petunjuk padanya. Akhirnya ia mendapat petunjuk, semacam diminta untuk berjalan menuju pesisir pantai.
Pada lain waktu Anggasuto berjalan menuju ke arah pantai tersebut. Karena tanah di pantai itu lembek, maka langkah kaki Anggasuto tersebut membekas. Selang waktu berjalan, bekas tapak kaki tersebut terisi oleh air laut.
Beberapa hari kemudian, Anggasuto kembali berjalan menuju ke arah pantai dan memerhatikan bekas tapak kaki yang terisi air laut tersebut. Anggasuto sempat merasa kebingungan dan mengira bekas tapak kaki yang nampak memutih itu adalah madunya samudera.
Namun, Anggasuto menyebut semua itu adalah buja yang merupakan bahasa Madura untuk garam. Hingga kini benda itu dikenal dengan sebutan buja atau garam. (adv/edo)